08. Sosok yang Asing

514 69 3
                                    


Rintik hujan mulai berangsur reda. Tersisa hanya sekumpulan genangan air di beberapa tempat yang lebih rendah, serta pepohonan dan genting basah. Lapangan utama yang berada di luar ruangan, dibiarkan tidak terpakai dan lebih memilih melaksanakan pelajaran olahraga di dalam ruangan. Lapangan voli menjadi pilihan paling efektif, digunakan untuk pemanasan dan latihan serve dengan satu bak bola sebagai permulaan.

Minggu ini, kelas XI IPS 2 seharusnya olahraga lempar bola. Tetapi karena lapangan utama terkena dampak hujan, mengedepankan voli yang seharusnya dilaksanakan minggu depan, adalah pilihan yang tepat.

Satu persatu murid putra mulai melakukan serve secara acak. Skill yang dimiliki anak-anak SMA Trinity, tidak bisa diragukan karena beberapa kali memasuki pertandingan tingkat nasional dan pernah menjuarainya sebanyak dua kali. Suatu kebanggaan tersendiri bagi SMA ini, mengingat banyaknya saingan yang menggunakan pemain luar negeri dan rata-rata lebih berpengalaman.

Saat tiba giliran Eric melakukan serve, seluruh pasang mata dibuat melotot hanya dengan melihat ancang-ancang yang dilakukan. Dilemparnya bola tinggi-tinggi hingga nyaris menyentuh lampu lapangan, Eric melompat tinggi dengan kaki terlipat ke belakang dan punggung sedikit melengkung. Saat bola jatuh tepat di depan telapak tangannya yang terangkat, ia memukulnya dengan sekuat tenaga. Bola berwarna biru-kuning itu terhempas ke sisi lain net dan jatuh tepat di garis belakang. Suaranya sangat keras, bola memantul jauh setelah menyentuh ubin dan membuat murid perempuan meringis ngeri.

"Hebat!"

"Buset, pukulannya keras amat."

Teman sekelasnya terdengar memuji, namun beberapa merasa risi. Seperti biasa, mereka membenci Eric dari masalah latar belakangnya, meskipun itu tak berkaitan sama sekali. Tak ingin mengambil pusing, Eric mulai melakukan push up seperti murid yang lain ketika selesai serve bola. Gurunya memperhatikan Eric, menatap dengan raut seolah ingin menyampaikan sesuatu.

Kehebatan dari Eric hanya berlangsung sesaat. Sosok Cakra yang tak ingin kalah darinya, langsung mengambil bola dan melakukan hal yang sama. Kali ini antusias murid lebih ramai lagi, mengingat tak ada masalah apa pun dengan latar belakang cowok itu.

Membahas tentang bola voli, sebenarnya Eric dipilih sebagai kandidat unggul dan diajukan untuk mengikuti ekskul. Namun, surat untuk daftar dan undangan hormat dari Pak Hasan telah dengan sengaja ia robek-robek waktu kelas sepuluh.

_

"Ada apa, Sparta? Kenapa kamu diam?"

Ludah saja sulit ditelan, apalagi sanggup untuk bicara. Sparta masih terpaku lama setelah menerima telepon dari seseorang yang ia kira adalah pelanggan pizza. Dari seberang sana, ada suara yang sangat ia hafal dan baru terdengar lagi setelah sekian lama. Parahnya, sosok itu menyebut dengan lancang kata 'anak' yang sangat sakral bagi pandangan Sparta.

"Gusvano," ucapnya setelah beberapa saat terdiam.

Sparta meninggalkan pekerjaannya tanpa izin, dilirik oleh atasan yang langsung memanggilnya namun tidak didengar sama sekali. Cowok itu berada di luar kantin, berteduh di pohon mangga yang belum berbuah sambil sesekali tetesan air hujan membasahinya.

"Panggil saya Ay--"

"Ada keperluan apa?" potongnya langsung.

"Saya sudah transfer uang ke ATM, kalau masih kurang tolong bicara."

"Hentikan, bangsat!" Tangannya yang terkepal memukul keras pohon mangga di depannya. Perih, tetapi samar karena perih yang datang dari dalam lebih mendominasi. "Gue gak pernah meminta, gue gak butuh uang lo!" lanjutnya setengah berteriak.

"Benarkah? Pantas saja kamu sampai bekerja sebagai tukang pizza. Sparta, serendah ini kamu setelah saya tinggalkan? Ada apa? Kamu bilang dulu akan jadi seseorang dan membalaskan dendam atas kematian ibumu, kan?"

UNRAVEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang