Eric membuang napas kasar, rangkulan lemas Sparta di pundaknya berasa berbobot kiloan dan membuatnya terjatuh begitu saja. Sparta menoleh kaget, mengulurkan tangan dengan keringat deras dari wajahnya. Eric mendongak, kesulitan bernapas ketika berada di ruangan pengap dan gelap tempat mereka bersembunyi kini. Matanya memandang buram, kepalanya berat luar biasa, deretan air bintik-bintik di keningnya menggambarkan stress yang sangat terbaca.
Sparta menarik tangannya, berjongkok agar selaras dengan posisi duduk Eric. "Jangan menyerah, sebentar lagi kita akan keluar dari sini sama ibu lo," katanya, mengusap pelan punggung Eric.
Yang menerima perlakuan itu, tersenyum terpaksa. Pandangan teduhnya dalam kegelapan, seakan berkata bukan inginnya merasa lelah. Eric menyadari ada harapan besar untuk menyelamatkan Dahlia jika Sparta di sini, tetapi melihat raga Sparta yang tak kalah letih, membuat Eric ingin memintanya sudahi saja.
"Makasih, Sparta. Ini hadiah terbaik di hari ulang tahun gue selama ini. Lo berniat membawa ibu kembali," sahut Eric memalingkan wajah, memandang beberapa meja berdebu di sampingnya.
Kemarin, Eric duduk manis dalam kerinduannya terhadap sang Ibu, lalu menuliskan beberapa kalimat di atas kertas. Ketika Sparta diam-diam memperhatikan di daun pintu sambil menikmati secangkir kopi, Eric bercerita untuk menuangkan beberapa harapan kecil dalam suratnya.
"Apa itu tentang gue? Tolong ceritain soal gue juga," godanya, berjalan mendekat usai mandi sore hari.
"Rahasia." Eric menutupi kertasnya dengan buku tulis, seolah benar-benar ingin sembunyikan itu dari Sparta.
"Ayo pergi ke sana, Eric. Ke Distrik Kupu-Kupu Malam tempat ibu lo kerja." Sparta berkata tiba-tiba, otomatis mengundang keterkejutan sang lawan bicara.
Sejak mendengar Shinya yang berkata akan membawa Sofia ke tempat itu, mungkin saja Dahlia juga berada di sana. Punggung Eric menegak tegang, memandang Sparta yang dirasa berpikir terlalu gila.
"Ha? Lo tahu, kan, itu tempat yang kotor, Sparta?" Bahkan dalam mimpi pun, tak pernah terbayangkan untuk pergi ke tempat seperti itu.
"Surat rahasia soal misteri dunia itu ... harus lo sampaikan." Sparta sedikit bercanda, tersenyum lebar seraya mengusap rambut Eric yang masih basah sehabis keramas.
"Tapi pasti sulit. Mungkin ibu dibawah kendali orang lain dan bisa aja bahaya," sahutnya ragu.
"Gue lawan Victor aja menang. Kali ini, gue juga yakin bisa hadapi orang-orang di sana." Sparta menyombongkan diri, kepalanya sedikit terangkat angkuh.
Eric terkekeh pelan, tetapi sejujurnya air mata hampir saja jatuh. Mendengar kalimat itu, Sparta terlihat seperti pahlawan yang bersungguh-sungguh ingin membantu. Eric menyingkirkan buku tulis dari permukaan kertas, melipat kertas dua kali dengan tangan gemetar. Sparta melihatnya, lantas memegang tangan Eric dan mengusapnya lembut.
"Gue janji bakal bawa ibu lo kembali."
"Sparta." Eric terisak, kali ini air matanya lolos terjatuh.
Lalu hari setelahnya, bermodalkan mencari informasi melalui internet tentang distrik pelacuran, mereka akhirnya tiba di tempat ini. Sebuah tempat yang digadang-gadang tempat paling kotor. Tak ada syarat untuk masuk, bahkan anak 14 tahun pun, sudah diperbolehkan berada di sana. Tentu pengelola dan pemilik tempat ini bukan orang sembarangan, sehingga memiliki perizinan beroperasi dengan mudah.
"Kayaknya dia gak ngejar sampai sini."
Januar mengintip melalui celah pintu, napasnya terdengar berat akibat merasa sesak. Ia membicarakan wanita jadi-jadian yang mengejar mereka sebelumnya. Ketika membayangkan wajah dempul tak rapi wanita bohongan itu, sudah membuat bulu kuduk merinding.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNRAVEL [TAMAT]
Teen Fiction[ Boy X Boy CONTENT! ] [ SELESAI PART LENGKAP ] Sparta Lewis, bocah sepuluh tahun yang diperkosa Ayah temannya, lalu membunuh pelaku atas dasar dendam. Gara-gara itu, rantai dendam berlanjut pada Victor Neptunus (teman Sparta) dan merubah kehidupan...