74. Surat dan Serangan

122 24 6
                                    

Kepada anakku.

Malam itu pada tanggal 14 Mei 2002, kamu terlahir ke dunia ini. Ibu masih ingat suara tangisanmu yang menggema dan senyum ayahmu yang bersinar. Kamu melengkapi kekosongan kami setelah menanti selama dua belas tahun hanya untuk momen itu.

Tidak banyak kata-kata yang bisa dijelaskan untuk melukiskan kebahagiaannya, ibu tidak pandai berkata-kata. Semua orang sependapat kalau kamu anak yang tampan, karena terlahir dari wanita cantik seperti ibu. Namun, kecantikan ini justru menjadi sebuah luka yang terpaksa memisahkan kita. Mereka sangat mencintai ibu dan memaksa agar terjerumus ke dunia lain yang menyedihkan. Tipuan mereka begitu rumit, tak ada cinta tulus selain ayahmu yang memilikinya. Ibu tidak bermaksud ingin pergi ke manapun, atau bersama siapapun, tetapi semua karena tak ada pilihan selain menjalani kehidupan pahit sendirian bersama ancaman dari mereka.

Musim silih berganti, tetapi tidak ada musim dimana ibu bisa melihat senyuman kamu. Sekarang Eric sudah tidak kecil lagi, kamu berhak mengetahui semuanya, tentang alasan kenapa ibu bekerja seperti ini dan merelakan hubungan pernikahan yang suci untuk hancur. Ibu tidak akan menyalahkan kamu, semua ini murni karena kecantikan yang surat akan luka.

Jika ini menjadi akhir kata-kata yang bisa ibu ucapkan, ibu akan meminta maaf dan betapa ibu sangat, sangat, sangat mencintaimu.

Sparta menatap televisi yang menayangkan lagu ending dari sebuah drama. Cowok itu duduk dalam keadaan setengah basah, baru selesai membersihkan diri setelah pulang dari sekolah. Disebelahnya, Eric terbaring seraya memeluk guling putih dalam tangis. Kedua mata terpejam bersama selembar surat terbuka yang berisikan pesan dari Dahlia. Sparta mengambil alih surat itu dari tangannya, melipatnya menjadi beberapa bagian lalu mengusap rambut Eric lembut. Desir napas yang dingin itu seolah menyampaikan kerinduannya yang menyakitkan, sampai memilih tertidur dengan harapan dapat melupakan sejenak kehampaan.

"Lo menangis bukan karena filmnya, kan? Tenang, gue ada di sini, gue gak akan ke mana pun." Sparta menunduk, mencium lama kening Eric dan menghapus air mata yang mengalir di pipinya.

"Kenapa kita baru bertemu? Seandainya waktu lebih cepat mempertemukan kita, mungkin kita bisa berbagi kebahagiaan lebih cepat," lanjutnya.

Cowok itu berdiri, berjalan ke kamar yang di dalamnya terlihat Ramune sedang berbaring sambil menatap langit-langit. Dengan tidak sopan, Sparta merampas selimut darinya, memberi sadar pada sang korban yang kedinginan dan langsung menatapnya.

"Ini gue ambil dulu, Eric udah dua hari gak tidur pakai selimut," katanya.

"Ambil aja, lagian gue udah sembuh," sahut Ramune, tak terlihat kejujuran di matanya yang masih tersurat luka atas kejadian malam itu.

Cowok yang dengan tega merampas selimut, pergi keluar kamar tanpa membalas apa-apa. Sparta kembali ke ruang tamu, menyelimuti Eric yang mulai kelihatan pucat. Belakangan ini, cuaca sedang tidak bagus. Angin malam bertiup lebih kencang dari biasanya, Sparta justru berdiri di balkon sambil menikmati teh jahe yang ia buat. Terlalu banyak air dan kurang manis, tetapi itu sudah cukup memberikan kehangatan.

Sparta menatap langit gelap, mengingat rumor soal penindasan Eric yang diejek sebagai anak pelacur oleh sebagian besar murid SMA Trinity. Namun, sejak dia masuk dan terlibat dengannya, Sparta tak pernah mendengar kata-kata menyakitkan itu. Pikirnya, semua telah berakhir dan Eric berhasil terjaga dari kesakitan, tetapi ternyata tidak sepenuhnya. Jauh dalam hati cowok itu memendam begitu banyak luka dan kesepian sama seperti Sparta, mungkin saja lebih. Ditinggalkan selama bertahun-tahun, hidup sebatang kara dan menyambung kebutuhan sendirian, tentu bukan sesuatu yang mudah. Setelah semua hal yang Eric lalui, hatinya tetap menjauh dari segala hal buruk dan lebih baik daripada Sparta.

UNRAVEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang