13. Max : Si Tinju Neraka

485 63 8
                                    


Sparta keluar dari ruangan gelap yang terletak di sebuah gang kumuh. Sambil berjalan sempoyongan akibat minum terlalu banyak, ia menghampiri Tomi yang sedang menunggunya sambil merokok di ujung gang. Laki-laki berusia 24 tahun itu, terlihat mengembuskan asap rokok yang baru saja dinyalakan, memberikan beberapa lembar uang pada Sparta.

"Apa ini, Mas?" tanya Sparta.

"Uang buat makan. Lo belum makan sejak beberapa hari terakhir ini, kan?"

"T-tapi, Mas--"

"Ayo jalan, kita gak bisa diam lama-lama di satu tempat."

Tidak menerima penolakan, Tomi hanya ingin pemberiannya di terima dengan senang hati. Cowok itu cukup berada, mengeluarkan uang untuk Sparta--yang sudah dianggap sebagai adik sendiri--bukan sesuatu yang besar. Tak ada pilihan lain selain menerima uang tersebut, Sparta memasukkannya ke saku jeans. Mereka harus segera mencari tempat lain sebelum ditemukan oleh geng Elang yang dengan gigih selalu berlalu-lalang di berbagai tempat.

Sejak meninggalkan Eric di mal satu bulan yang lalu, Sparta berusaha lebih mandiri dalam menemukan tempat tinggal. Tidak menetap, hanya berpindah-pindah bar setiap malam, atau tidur di pabrik-pabrik bekas. Yang ada di dalam sakunya hanya sebuah kartu ATM berisi uang yang diberikan ayahnya setiap bulan, tak pernah digunakan karena alasan tertentu.

Gelang hitam-putih yang ia terima dari Eric, sudah berakhir di tempat sampah entah di mana. Tomi bilang membuang barang pemberian teman dibutuhkan agar segera melupakan kenangannya. Namun, Sparta tidak menemukan hasil dari ucapan itu.

Mereka masuk ke bar di belakang pasar bernama Ravalon--bar yang paling sering didatangi sekaligus menjadi tempat insiden pertengkaran dengan Shinya. Suasananya masih sama, bar ternyaman bagi Sparta karena tempat yang lumayan luas.

Pelayan menyajikan beberapa botol minuman, tidak disentuh oleh Sparta sama sekali dengan alasan tidak ingin. Tomi lalu mengeluarkan sebuah barang terlarang, narkoba sejenis kokain yang sudah lumayan lama tidak Sparta konsumsi.

"Dari mana?" tanya Sparta, niat hati ingin memintanya.

"Beli. Lo boleh make," jawabnya.

Sparta mengambilnya, memasukan benda itu ke saku celana. "Mas, beberapa hari lalu gue ketemu sama Eric."

"Orang yang pernah tinggal sama lo?"

Sparta mengangguk. "Dia kelihatannya kesepian."

"Jangan merasa bersalah. Orang seperti dia pasti sudah sendirian sejak lama, bukan karena lo pergi."

"Dia orang yang baik." Sparta menuangkan minuman, tindakan tak terduga padahal sebelumnya terlihat tidak tertarik.

"Apa dia tahu sesuatu tentang lo?" tanya Tomi.

"Gue gak pernah ngomong apa-apa sama Eric." Minuman di gelasnya terkuras habis, masuk ke tenggorokan dengan leluasa.

Sejak kedatangan Sparta setengah jam lalu, orang-orang baru masuk semakin banyak dan membuat bar ini lebih penuh dari biasanya. Semakin banyak pengunjung, orang-orang ini semakin menggila--tak terlepas dari merokok, mabuk, bercinta, bahkan berjudi. Kepala Sparta juga mulai pusing, berada di sini seakan hanya mimpi. Karena ia terbayang akan Eric Abyan yang entah bagaimana menggerayangi memorinya.

Tomi terlihat lebih mabuk daripada Sparta. Ia berdiri dan pergi ke arah toilet, tak disadari Sparta yang sedang menunduk sambil memegang gelas. Saat sedang sibuk berkutat dengan pikirannya, tiba-tiba dari arah pintu masuk terdengar suara keributan. Sparta menengok ke arah pintu sambil tetap di posisi. Di sana berdiri kira-kira empat belas pemuda berjaket hitam dengan lambang burung Elang di belakangnya. Mata Sparta kontan terbuka, sadar siapa mereka dan apa yang membawanya kemari.

UNRAVEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang