03. Temu Kita adalah Kejutan

1K 113 3
                                    

Pakaian yang dikenakan sedikit ketat, berkali-kali dibenahi agar lekuk tubuh tidak terlalu kentara dibalik kaus biru tuanya. Setelah merasa cukup nyaman, Sparta mengangkat dua buah kresek putih bertuliskan Trinity Pizza. Sparta menyusuri koridor sembari mengingat di mana ruangan yang ditunjukan atasannya untuk mengantarkan dua bungkus pesanan. Lalu ia tiba di depan sebuah ruangan yang pintunya sedikit terbuka, mengintip ke dalam dan menemukan seorang pria rupawan tengah duduk sambil berputar pelan di kursi hitam. Hendak mengetuk pintu, tetapi kehadirannya lebih dulu disadari oleh pria itu.

"Masuk," perintahnya. Suaranya menerobos telinga dingin--pas dengan penampilan yang apik mengenakan jas krem dan dasi merah hati.

Sparta membuka pintu, menenteng pizza memasuki ruangan. "Maaf menganggu, saya mengantarkan pizza atas nama Pak Malik," ucap Sparta.

Ruangan itu tak terlalu luas, berisi buku-buku di dua buah lemari dekat jendela, serta sebuah globe bermacam-macam ukuran berada di atasnya. Ruangan ini nyaris seperti perpustakaan, tetapi saat melihat ada patung setengah badan yang menampilkan organ dalam, membuatnya meralat perkiraan tersebut. Sebenarnya, ini hanyalah ruangan khusus milik Malik Fachri Asyam, seorang guru BK yang tugasnya memanggil murid pelanggar aturan dan memberikan sanksi kepada mereka.

Malik meminta Sparta menaruh pizza itu di atas meja dekat secangkir kopi hangat. Dengan sigap, cowok itu melakukannya.

"Kamu, pengantar pizza yang baru?" tanya Malik.

"Iya," jawab Sparta.

"Siapa namamu? Kelihatannya, kamu masih seumuran murid di sekolah ini."

"Sparta. Sebenarnya memang masih 17 tahun."

Wajahnya terangkat, tangan yang semula sibuk menuliskan sesuatu di lembaran kertas pun berhenti. "Jadi, kenapa tidak sekolah?" tanyanya lagi.

Sparta terdiam. Setelah pizza bawaannya ditumpuk rapi di atas meja, kedua tangan itu kini melemas di samping pinggangnya.

"Ah, maaf-maaf. Mungkin pertanyaan saya kurang sopan. Baik Sparta, kamu bisa pergi sekarang," ucap Malik mengerti situasi.

Beberapa lembar uang ia jatuhkan di meja, kemudian melanjutkan apa yang sedang dikerjakan.

[ UNRAVEL ]

"Ayo! Cakra! Cakra!"

Seorang perempuan berteriak paling keras dipinggir lapangan. Tangannya terangkat beberapa kali sebagai tanda dukungan kepada sosok yang ia sebut-sebut dalam teriakannya. Sekumpulan laki-laki sedang berlari mengelilingi lapangan, berkejaran dengan stopwatch yang dipegang guru olahraga sambil berusaha menjadi yang pertama kali sampai di titik awal. Lelaki bernama Cakra rupanya memimpin, tidak diragukan mengingat perawakannya yang tinggi dan berisi, serta beberapa prestasi yang dimilikinya dalam bidang olahraga.

Peluit berbunyi, tanda ada yang sudah sampai pertama kali ke titik awal. "10,2 detik!" teriak guru olahraga, menyambut kedatangan Eric.

"Sialan, kenapa harus cowok itu!" pekik perempuan yang tadi bersemangat mendukung Cakra, nyatanya dia berada di posisi kedua karena disusul pada saat-saat terakhir.

"Haha, lagi, ya? Kemarin waktu pertandingan voli juga begitu," ucap temannya yang tidak ikut-ikutan mendukung.

"Ha? Jangan ngingetin lagi kali!" ketusnya memalingkan wajah, ogah diingatkan soal kemenangan Eric bertanding voli dengan Cakra minggu lalu.

Fakta yang menyakitkan, Eric seringkali dikucilkan oleh teman sekelasnya. Tidak secara terang-terangan, tetapi cowok itu tentu tahu karena tatapan dan perilaku mereka berbeda. Alasannya, karena Eric tidak banyak bergaul dan tertutup. Lalu alasan lainnya, perkara rumor tentang pekerjaan ibunya yang menyebar dari mulut ke mulut. Meskipun begitu, dalam pelajaran di dalam atau pun di luar ruangan, dia selalu unggul dan menjadikannya pusat perhatian dalam arah yang negatif. Kira-kira, kedengarannya seperti tadi jika Eric menempati urutan pertama dalam hal apa pun. Akan ada banyak murid yang mengumpat, tak terima dengan pencapaiannya hanya karena latar belakang yang dimiliki cowok itu.

UNRAVEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang