Mandarin menunduk gugup, beberapa saat beradu pandang dengan sosok Sparta yang duduk manis diseberang kursinya. Cowok itu berpenampilan tak begitu rapi, memakai seragam yang masih kotor dan hanya membersihkan diri di kamar mandi pom bensin. Menatap sebuah meja kaca yang sama seperti sebelumnya, ruangan sunyi atas kuasa Malik itu sekarang menjadi tempatnya berkunjung lagi. Baru masuk dua kali, tetapi rasanya sudah muak setengah mati. Apalagi kali ini, harus memandangi isak tangis seorang gadis penuh dosa yang gemetar dibuat-buat. Setidaknya kursi cokelat yang empuk dan hangat, sedikit menenangkan pikiran Sparta yang mendidih.Malik tak kuasa membuka bibir, Mandarin terus-menerus menangis seraya meratapi lantai berdebu.
"Maafin gue," kata Sparta mula-mula, berbicara lebih dulu walaupun tak pernah bersalah atas apa pun itu.
"A-aku udah maafin. Tapi, kelakuan kamu waktu berusaha merobek seragamku-" Suaranya berhenti, membayangkan dengan tragis kejadian yang tak sama dengan perkataannya.
Ketika ia berusaha menggoda Sparta, saat dengan gigih merusak seragamnya sendiri dan memamerkannya pada cowok itu yang tak sedikit pun tergugah.
"Kamu melawannya?" tanya Malik iba, melihat reaksi sedih itu ia berlagak khawatir.
Mandarin menggeleng. "Nggak, aku tahu dia anaknya kuat, cuman aku berusaha cakar meja saat posisi aku tengkurap," jawabnya.
"Apa karena alasan itu kuku tanganmu sebagian besar patah dan berdarah?" tanya Malik lagi, menunduk hanya untuk sekedar melihat kuku yang dimaksud. Tampak gundul beberapa, kuku berwarna pastelnya kini rusak.
Mandarin mangut-mangut, memberanikan diri menatap Malik dengan penuh luka batin. Bukan perihal pura-pura menjadi korban, tetapi masih begitu sakit saat membayangkan penolakan besar Sparta. Bahkan setelah kejadian semalam, anehnya gadis itu masih menyimpan harapan cinta padanya, justru malah semakin besar. Perasaan itu yang membuatnya terus-menerus mengucapkan maaf dalam hati, merasa sangat bersalah telah menuduhnya, tetapi terlanjur. Ketulusan Sparta untuk menerima tuduhan itu, membuatnya hampir saja gila, berharap Sparta melawan dan memakinya saja agar tidak hadir rasa sesak seperti yang dirasakan saat ini.
Sparta tersenyum, tidak tahu maksud apa yang ada dibaliknya. Namun, kedua bibirnya terbuka dan beberapa kata terucap begitu lembut. "Luka apa yang lo simpan selama ini? Apa lo juga merasa kalau dunia gak adil? Kalau gitu, kita sama," ucap Sparta lirih.
Mandarin menatapnya berkaca, gumpalan kuat seolah tercipta di ruang hampa hatinya, begitu nyeri dan berdetak kencang. Tidak ada yang salah dengan perasaannya, mencintai laki-laki misterius yang dipenuhi luka tak terlihat, serta berharap selaras dan bergandengan untuk sama-sama keluar dari luka itu, adalah harapan besar Mandarin yang selamanya tidak akan pernah terwujud. Sparta akan selalu menjadi milik tujuannya, tak peduli cara apa pun untuk menariknya dekat, justru ia akan semakin menjauh. Bersama Mandarin, berarti Sparta akan bersama lukanya, karena kebahagiaan yang sedikit kentara di matanya itu adalah milik Eric seorang.
Detik berikutnya, ruangan yang semula senyap dan tertutup rapat, kehadiran sinar matahari yang tiba-tiba menabrak masuk. Bersamaan suara pintu yang terbuka kencang, beberapa orang polisi memaksa masuk dengan perlengkapan senjata. Sparta dipaksa berdiri, kedua tangannya ditarik ke belakang dan pergerakannya dikunci oleh borgol. Pistol mengarah ke punggungnya, digiring keluar oleh salah satu polisi dan dua lainnya mengawal di belakang.
"Terima kasih atas laporannya, Pak. Laporan itu telah meringankan pekerjaan kami," kata polisi yang sengaja masih berada di ruang BK.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNRAVEL [TAMAT]
أدب المراهقين[ Boy X Boy CONTENT! ] [ SELESAI PART LENGKAP ] Sparta Lewis, bocah sepuluh tahun yang diperkosa Ayah temannya, lalu membunuh pelaku atas dasar dendam. Gara-gara itu, rantai dendam berlanjut pada Victor Neptunus (teman Sparta) dan merubah kehidupan...