68. Kita Bukan Teman Lagi

203 27 12
                                    


Suara burung liar mematuk jendela beberapa kali, membuat sang pemilik rumah terpaksa untuk membuka mata. Gorden abu-abu sudah tersingkir ke pinggir jendela, memberikan kebebasan sinar mentari menyinari tubuh yang terbaring lesu. Selimut tebal didorong oleh kedua kaki, merasa gerah saat menyadari jam weker menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Cukup jarang terjadi, saat pagi hari sudah ditinggalkan embun-embun yang biasanya memberikan hawa dingin. Merenggangkan otot-otot yang berasa kaku, Eric mendorong lengannya ke atas kepala sembari menguap. Luka-luka yang diterimanya dua minggu lalu, sudah sepenuhnya pulih, bahkan tubuh itu kini terbangun di kasur rumahnya sejak seminggu lalu.

Awal Maret kemarin Eric mendapatkan tragedi yang lagi-lagi mencelakainya, kilas balik itu bahkan membuat matanya menerawang langit-langit putih tanpa noda. Perpisahan menyakitkan dengan Sparta, hari-hari penuh kerinduan dan hampa, serta berakhirnya seluruh luka itu di rumah sakit untuk mulai saling mengerti. Mungkin karena kejadian besar itu harus terjadi, sehingga memberikan kesempatan kepada Eric untuk memperbaiki kepekaannya terhadap rasa Sparta selama ini.

"Eric, cepat mandi."

Dari arah pintu yang terbuka, Sparta muncul dengan seragam lengkap terpakai.

Membalas dengan anggukan, Eric kembali memejamkan mata.

Selama hari-hari berlalu, tak ada yang banyak berubah. Eric menghabiskan beberapa hari di rumah untuk pemulihan, sementara Sparta pergi ke sekolah dan bekerja seperti biasa. Hari ini pertama kalinya Eric memulai kembali perannya sebagai murid kelas dua di SMA Trinity. Seragam putihnya sudah menggantung rapi di paku kamar, seseorang sengaja membuatnya terlihat selembut sutra. Bahkan, tampak alat setrika masih terkapar di atas meja. Aroma shampo mint tiba-tiba menusuk hidungnya dan meninggalkan basah, ada sehelai rambut jatuh di sana berasal dari rambut Sparta yang terjun ke ranjang lalu memeluknya erat.

"S-Sparta...."

"Sesak?" tanyanya, menebak kata apa yang akan Eric keluhkan.

"Gue belum mandi, nanti lo kotor lagi," kata Eric, berusaha mendorong tubuh temannya untuk jauh.

"Sebelum air yang bersentuhan sama lo, seharusnya gue dulu."

Lalu, sejak beberapa hari terakhir setelah ungkapan perasaan Eric di rumah sakit, Sparta jadi lebih manja daripada biasanya. Setiap waktu tak ada alasan untuk tidak memeluk, bahkan disaat-saat seperti sekarang.

"Mau sampai kapan? Nanti kita telat!"

Eric setengah berteriak, tak ingin Sparta hanyut dalam pelukan yang justru semakin nyaman dan nyaris membuatnya untuk tidur lagi. Setelah beberapa menit lenyap akibat pelukan, Eric bergegas ke kamar mandi untuk membasahi tubuh yang masih menyimpan ragu. Walaupun setiap hari hal ini selalu berulang, Eric berusaha menghapus ragu bahwa semua yang terjadi bukan sebuah mimpi. Menerima perlakuan semanis itu tak kunjung membuat jantungnya reda berdebar, tak pernah terbiasa dan justru semakin membuat dia gugup.

Pikirannya menerka perihal hubungan mereka yang kini berubah. Sambil bergelut dengan bingung, Sparta menuntun tangannya saat menyusuri jalanan yang dihujani bunga kamelia berjatuhan. Mereka bukan teman biasa lagi, senyum takut kehilangan yang setiap hari Sparta lontarkan, juga sentuhan hangat seperti saat ini, membuat status mereka jauh di atas itu. Daun yang jatuh di atas kepala Eric, berakhir di tangan Sparta yang membersihkannya, menarik tubuh Eric untuk lebih dekat dan berjalan semakin jauh dari rumah mereka.

"Besok, gue bersihkan jalan ini," kata Sparta pada daun dan bunga yang berserakan.

"Nanti gue temani lo."

"Pacaran sambil bersih-bersih, boleh juga."

"Kita gak--"

"Gak apa?" Sparta menoleh teduh, bola matanya terlihat memancarkan kesedihan.

UNRAVEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang