"Mereka berusaha menghentikan mimpi gue hari itu."Seulas senyum terlukis di wajahnya, senyum lega yang seolah menganggap dirinya hebat telah melalui masa sulit itu. Eric dan Sparta duduk bersampingan, sambil memutar-mutar bola di tangan Eric menceritakan masa lalunya kepada Sparta selama hampir satu jam. Koridor yang sunyi dan tiang berjajar di sana seolah ikut mendengarkan kisah pilu yang tak seorang pun dapat merasakannya. Eric hanya menceritakan kejadian itu, tidak benar-benar berbagi luka dengan Sparta yang dianggap memiliki masa lebih sulit darinya.
"Kenapa lo menceritakan semua ini ke gue?" tanya cowok berseragam navy khas SMA Trinity yang baru masuk beberapa bulan ini.
"Karena gue melihat, lo punya masa yang sama kelamnya."
"Melihat?" Sparta melirik, seakan meremehkan rasa yang coba Eric sampaikan.
"Gue melihat mata dengan bola mata yang berbeda itu, Sparta. Gak tahu kejadian tragis apa yang berhasil merenggut warna murni dari mata lo yang indah," jelasnya.
Rekaman memori tergambar. Raut wajah menakutkan ayahnya kala itu tergambar lagi dalam ingatan Sparta. "Cuman kenangan dari seorang bajingan," katanya.
Eric tertawa kecil, segera beranjak saat menyadari waktu semakin berlalu. Pulang sekolah, seusai Eric menyusul ujian yang dilewatkan, ia akan berlatih di lapangan indoor sesuai perintah dari Pak Hasan. Kabar diterimanya dalam tim inti membuat kebahagiaan mengoyak hatinya tanpa henti. Selain hal itu, ucapan Sparta di saat yang sama, membuat perasaannya merasakan kebahagiaan yang lain.
"Oh iya, Sparta." Eric melirik, melihat Sparta yang sedang menggendong tasnya.
"Ada apa?"
"Soal ucapan lo waktu kemarin, apa gue gak salah dengar?" tanyanya.
Kejadian kemarin, ucapan yang masih sangat Eric ingat.
"Apa lo akan percaya, kalau gue bilang suka sama lo?"
"Ha?" Eric tak bergerak, bahkan seolah dia kehilangan cara hanya untuk sekadar bernapas.
"Lupakan."
"Tunggu, suka apa yang lo maksud? Sebagai teman, kan?" Eric memastikan, walaupun pandangan Sparta tampak lain, bahkan debaran jantungnya merespon agresif. Lebih tepatnya, berdetak sangat kencang.
"Iya itu, sebagai teman. Terima kasih Eric, lo selalu ada buat gue selama ini." Sparta menyahutnya, pandangan yang semula gugup berubah seperti biasa.
Jelas bukan. Rasanya mengganjal, semalam tatapan manis Sparta menyampaikan sesuatu yang beda. Kalimat itu keluar karena Eric berhasil memberinya jalan keluar. Lebih tepatnya kemarin, bukan datang dari perasaan Sparta yang sesungguhnya, tetapi Sparta mencuri kalimatnya.
"Masih membahas itu?" Sparta menyimpan telapak tangannya di atas kepala Eric, mengelus pelan sambil tersenyum. "Gue bilang lupakan, kan?"
"Seenaknya aja lo bicara." Eric membuang muka, perlakuan Sparta saat ini seperti kepada seorang perempuan.
"Eric! Ayo cepat ke lapangan voli!" Dari kejauhan, Pak Hasan berteriak.
"Oke, Pak!" sahut Eric, menoleh ke tempat duduknya semula takut-takut ada yang tertinggal.
"Ada yang ketinggalan gak, ya."
"Ada, mungkin sobekan celana di pantat lo."
Eric menyentuh bokongnya, tetapi tak menemukan kain berlubang dari sana. "Ini gak sobek."
"Terus kenapa lo percaya?"
"S-Sparta!"
Di lapangan indoor telah ramai, terlihat para pemain saling melempar bola melewati net untuk pemanasan. Sparta duduk di dekat Pak Hasan, tampak sedang berteriak mengatur murid yang masih kurang dalam bermain. Matanya terpaku pada satu orang, sosok Eric yang mengenakan kaus putih polos dan celana pendek tengah menggila di lapangan. Ekspresi wajah yang biasanya terlihat polos, kini lebih enerjik. Senyuman kepuasan yang terlukis di wajah itu, berhasil membuat perasaan Sparta menghangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNRAVEL [TAMAT]
Teen Fiction[ Boy X Boy CONTENT! ] [ SELESAI PART LENGKAP ] Sparta Lewis, bocah sepuluh tahun yang diperkosa Ayah temannya, lalu membunuh pelaku atas dasar dendam. Gara-gara itu, rantai dendam berlanjut pada Victor Neptunus (teman Sparta) dan merubah kehidupan...