Ramune setengah menyipitkan matanya yang terkena sinar matahari dari luar. Tak seperti hari-hari kemarin, ketika Jakarta dilanda mendung dan kadang kala diguyur hujan, membuat perasaannya ikut mendung juga. Masalah besarnya, minimarket yang baru buka beberapa hari itu tak mendapat banyak pengunjung, padahal tempat sudah cukup strategis dengan berada di perempatan jalan raya. Pemuda kelas tiga SMA itu berdiri di dekat jendela setinggi tubuhnya, menatap langsung ke jalanan yang seperti biasa ramai. Wajahnya tampak berpikir sesuatu, tentang sebuah strategi untuk menarik pengunjung dan meningkatkan penjualan usaha kecilnya.
Minimarket ini dibangun dari hasil tabungan ayahnya yang telah tiada, digunakan seluruhnya untuk membangun tempat ini. Hanya bermodalkan tekad dan amanah besar sang ayah--yang berkata agar membuka usaha kecil untuk bertahan hidup--justru belum membuahkan hasil. Langit terang yang sejak tadi Ramune tatap, seolah tertawa kecil meledeknya, mungkin memang salahnya sendiri hanya berbekal tekad tanpa ilmu berbisnis mumpuni.
Rupa tampan itu justru terlihat bodoh saat terus-menerus bersedih. Matanya setengah mengantuk dengan rambut berantakan dan lepek. Siapa pun yang melihat akan berpikir sama, dia anak kumal yang belum mandi seharian. Hembusan AC yang berada di setiap sudut ruangan mendadak memanas, rupanya pintu kaca minimarket, dibuka oleh seseorang. Samar angin menghilang, sampai kemudian merasa dingin kembali setelah pintu ditutup oleh orang yang baru saja masuk. Melihat kedua matanya tak asing, bahkan sangat persis itu milik orang yang selalu berputar dalam pikiran Ramune tiga hari terakhir ini. Kedua pandang mereka bertemu, mulut keduanya terkunci dan menciptakan hening tak berujung.
Satu minggu dia menghilang, lalu muncul kembali dengan penampilan yang sama.
"Ngapain aja lo hilang selama itu, Sparta?" tanya Ramune, pandangannya mendadak serius.
"Bang, boleh minta gaji gue seminggu yang lalu? Walaupun cuma beberapa hari kerja, gue dibayar, kan?" Sparta justru tak menjawab pertanyaan kecil itu, beralih kata pada sesuatu yang lain.
Spontan Ramune melongo, tak percaya pertanyaannya diabaikan. "Jawab gue dulu, bodoh! Si Eric hampir gila kerja sendiri gak ada lo! Lo bilang sendiri tinggal serumah, jangan jadi beban dan biarin dia kerja sendiri!"
Padahal hanya berkedip saja, rasanya Sparta sangat muak. Apalagi jika harus menerima omelan Ramune yang seenaknya. Tanpa berpikir lama, Sparta berbalik, berharap menurunkan sedikit saja suara orang yang memakinya secara tiba-tiba itu. Melihat reaksi tak minat Sparta, mulut Ramune berhenti terbuka. Dia ikut diam, menatap punggung yang sama, karyawannya yang kemarin sangat membutuhkan pekerjaan dan terlihat menyedihkan. Sparta tahu apa yang dipikirkan Ramune tentangnya, helaan napas penuh kasihan itu cukup membuat Sparta prihatin pada dirinya sendiri. Dia memang pantas dikasihani, di mata orang lain entah dia semenyedihkan apa.
"Ya udah, nih. Buat satu tahun lo kerja di sini!" serunya, melesakkan beberapa uang tunai yang digulung-gulung ke saku kemeja Sparta.
Sparta memperhatikannya, uang itu menolak masuk dan berakhir jatuh di lantai. "Sebanyak itu?" tanyanya.
"Iya." Ramune memungutnya, kali ini ia simpan di telapak tangan Sparta secara paksa. "Asal lo balik ke sini, kapan pun gue tunggu," lanjutnya.
"Gue gak akan ke sini lagi."
"Aaarggg!! Bego, yang jawab gitu bego!" teriaknya, seolah memaksa Sparta agar setuju dengan kemauannya.
"Bang--"
"Pergi aja sejauh mungkin, tapi lo harus ingat jalan pulang. Eric tempat lo pulang, kan?"
Niat hati Sparta ingin membuat Ramune mengerti, tetapi kalimat yang terucap disela napas putus asanya, pemuda itu rupanya lebih dari sekedar mengerti. Tanpa mengucap kata-kata lebih banyak lagi, Sparta tersenyum membelakangi Ramune, kemudian melangkah keluar dengan perasaan penuh syukur. Tidak tahu kenapa, tetapi ucapan bernada percaya itu berhasil membuatnya mengubah niat selamanya menjadi sementara. Sparta pasti akan kembali, menuju ke rumah dan membalas kebaikan Ramune pada hari ini. Bersama beberapa lembar uang, Sparta pamit mengundurkan diri dari Jakarta, untuk singgah ke suatu tempat yang sudah sangat lama tak pernah ia hirup aromanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNRAVEL [TAMAT]
Novela Juvenil[ Boy X Boy CONTENT! ] [ SELESAI PART LENGKAP ] Sparta Lewis, bocah sepuluh tahun yang diperkosa Ayah temannya, lalu membunuh pelaku atas dasar dendam. Gara-gara itu, rantai dendam berlanjut pada Victor Neptunus (teman Sparta) dan merubah kehidupan...