Sekujur tubuhnya gemetar, berpegangan erat pada tali tas gendong yang melekat di punggung. Cakra berdiri dihadapan gerbang tinggi dengan seragam putih biru yang masih beraroma baru. Orang-orang berjalan melewatinya begitu saja, tak ada bau-bau khawatir yang terlihat. Bagi mereka, memasuki gerbang mewah ini adalah hal yang biasa. Berbeda dengan Cakra, yang tidak pernah berpikir akan menginjakkan kaki di sekolah sebagus ini, bahkan dalam mimpi sekalipun.
Dalam hati, tak habis-habis suara haru berbisik teruntuk sang ayah yang telah berusaha memasukkannya kesini. Dengan nilai Ujian Nasional yang paling tinggi di sekolah dasar, tak heran jika seorang Cakra Aravel Maidi diterima di SMP Alexandra yang menjadi impian banyak orang. Kedua kaki melangkah, terasa begitu nyata karena hembusan angin yang menggoda tubuh itu bukan sebuah kepalsuan.
Perlahan-lahan, seiring masuk lebih dalam, rasa gugup berangsur menghilang. Tergantikan dengan rasa ingin tahu pada seluruh bangunan luas nan tinggi di depan sana, begitu mewah sampai kedua mata tak mampu berkedip. Berbagai pasang mata melihat, Cakra merasa mengundang kehebohan padahal tak melakukan apa pun. Suara sorakan datang dari murid perempuan, memandangnya terpesona dan membuat langkah semakin percaya diri.
Sebelum detik ini, selama di sekolah tak pernah merasa percaya diri. Tapi ternyata, Cakra terkejut saat berhadapan dengan cermin besar di depan kantor sekolah. Ternyata wajahnya selama ini tampan, tidak ada alasan harus takut dan khawatir karena sekolah di SMP bergengsi. Matanya melirik lelaki yang diduga baru masuk sepertinya, tampak malu-malu dan membatasi diri ketika berekspresi. Entah mengapa itu semakin membuat lega, karena tidak sendirian merasakan kegugupan.
"Apa ini? Anak baru?"
Dua orang menghampiri, tubuhnya yang lebih tinggi memaksa untuk mendongak agar melihat wajahnya. Cakra menelan ludah takut, wajah menyeramkan itu tak terlihat seperti seorang anak SMP pada umumnya.
Aku harus gimana?
Dengan keringat dingin, Cakra paksakan tersenyum walaupun kaku.
"Dia tampan." Perkataan salah satu dari mereka membuatnya kaget.
"Benar, kayaknya emang kelas tujuh yang baru masuk." Temannya yang lain menyahut.
"E-eh, k-kalian kakak kelasku?" tanya Cakra gelagapan, sepertinya mereka tidak berniat jahat.
"Ah, iya. Gue Andia, kelas delapan A, dan dia Marsel, kelas sembilan F." Andia memperkenalkan diri beserta temannya, mengulurkan tangan sambil tersenyum.
"Gue bisa kenalkan diri gue sendiri, bodoh!" Marsel terlihat tidak senang, berjabat tangan lebih dulu dengan Cakra. "Marsel, gue kelas sembilan F," lanjutnya.
"Cakra Maidi."
"Curang, gue duluan yang harus salaman!" Andia tak terima, menyenggol tangan Marsel agar lepas dari tangan Cakra.
Cakra pikir sepertinya mereka tidak bahaya, meskipun tubuh mereka terlalu tinggi untuk ukuran anak SMP. Setelah terlibat pertengkaran kecil yang tidak perlu, mereka berjalan bersamaan dengan Cakra yang berposisi di tengah.
"Jadi lo kelas tujuh berapa?" tanya Marsel.
"Aku belum tahu, kayaknya harus cek absen di setiap jendela kelas."
"Waktu masuk ke sini lo peringkat berapa? Biasanya tertulis di surat resmi penerimaan," kata Andia.
"Surat?" Cakra sepertinya tahu surat itu, ketika ayahnya memberikan selebaran itu dengan senyum merekah. "Di sana tertulis Cakra dengan nilai tertinggi." Melanjutkan ucapan sambil berusaha mengingat.
"Tertinggi? Serius?" Langkah Andia dan Marsel terhenti, cukup terkejut mendengarnya.
"M-maaf, aku gak bermaksud--"
KAMU SEDANG MEMBACA
UNRAVEL [TAMAT]
Ficção Adolescente[ Boy X Boy CONTENT! ] [ SELESAI PART LENGKAP ] Sparta Lewis, bocah sepuluh tahun yang diperkosa Ayah temannya, lalu membunuh pelaku atas dasar dendam. Gara-gara itu, rantai dendam berlanjut pada Victor Neptunus (teman Sparta) dan merubah kehidupan...