28. Ungkapan Rasa & Ancaman

427 55 8
                                    


Rambut poni tail miliknya sedikit diacak angin, kedua tangan tampak penuh memegang kresek berwarna putih dengan logo supermarket lokal. Di dalamnya, ada beberapa susu kemasan dan buah-buahan segar yang dipilih sendirian sepulang sekolah. Menjalani hari tanpa ketiga temannya, memberikan reaksi berat di kepala yang sedikit dilengkapi dengan suhu panas. Sparta mengembuskan napas, merogoh sebatang rokok dari jaket yang menutupi seragam putihnya.

Duduk sejenak di sebuah trotoar jalan yang sunyi dari kendaraan, menikmati beberapa kali hisapan asap dan mematikannya kembali. Sisa kepulan asap memenuhi udara, Sparta tatap dalam-dalam. Perlahan matanya mengikuti ke mana asap itu tersapu angin, sampai akhirnya lenyap. Pikiran berhenti di satu titik, sudah lama dia tidak menikmati sabu-sabu dan ganja yang biasanya diberikan Mas Tomi. Lagi, wajah pria yang sudah dianggap sebagai kakak itu, tampak lagi dalam ingatan.

Lekat dan seolah menolak dilupakan, membuat pikirannya kembali kacau jika mengingat kejadian pada malam itu. Ia berdiri, melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda dengan langkah pelan. Tubuhnya berpapasan dengan banyak orang, bermacam-macam ekspresi dari mereka tergambar. Sejenak, Sparta merasa kehidupannya normal. Sejak dua minggu yang lalu, Sparta tak lagi terlibat dengan geng berandalan yang dipimpin oleh Victor--sang teman kecil yang kini menjadi musuhnya.

Dia menebak, Victor tengah merencanakan sesuatu untuk kembali mengusik lain kali. Selanjutnya, entah apa yang akan cowok itu lakukan, sedikit membuat cemas. Kedua kaki tiba di tempat tujuan, sebuah rumah bercat abu-abu yang sudah enam bulan menjadi tempat kepulangannya. Ingat sekali saat hari pertama itu, ketika Sparta memaksa masuk dan berusaha merampok rumah Eric dengan kondisi lemahnya.

Tidak terasa, waktu sudah berjalan selama itu.

"Sparta, lo udah pulang," kata Eric, membuka pintu sebelum Sparta sempat mengetuknya.

"Kenapa lo tahu gue diluar?"

"Firasat," jawab Eric dengan sedikit tawa. Spontan, Sparta mengikuti tawa kecilnya.

Juga tak terasa, keduanya sudah berhubungan sedekat ini.

"Eric, cepat habiskan susu dan buah-buahan itu, lalu minum obat. Besok lo harus ke sekolah, menyusul ujian dan latihan voli," ujar Sparta excited.

"Benar gue harus sembuh, tapi latihan voli? Kenapa?" tanya Eric bingung.

"Ada tempat buat lo di tim inti, lo akan mengikuti lomba akhir tahun nanti, pak Hasan bilang hari ini," jawab Sparta.

"Lomba akhir tahun, di tim inti...." bibir Eric gemetar, kemudian tersenyum. "Yes!" Kedua tangannya terangkat, tawanya lepas detik itu juga.

"Syukurlah." Sparta ikut tersenyum, sedikit tak menyangka dengan reaksi luar biasa yang Eric tunjukan itu.

"Kalau begini, gue semakin semangat buat sembuh. Pukulan orang-orang sialan itu gak ada apa-apanya!"

Sparta terkekeh, menanggapi rasa girang dari temannya yang jarang sekali terlihat.

"Oh ya, Sparta, dari dulu gue penasaran, kenapa lo dikejar berandalan-berandalan itu?"

Pertanyaan Eric seketika membuat Sparta terdiam. Kedua tangan yang sedang mengeluarkan makanan dari dalam kresek supermarket, kali ini gemetar. "Hanya kesalahpahaman," jawab Sparta, tak berani menatap lawan bicaranya.

"Maaf, tapi kita kenal sudah lumayan lama, gue tahu kalau lo berbohong."

Sparta terkejut, tidak tahu sejak kapan Eric peka terhadapnya. Jantungnya berdetak cukup kencang, khawatir akan sesuatu. Jika Eric sudah mulai peka, perasaan suka yang dia rasakan pada cowok itu juga khawatir ketahuan.

"I-itu--" Sparta kikuk, setengah hatinya tak merasa siap untuk menceritakan kisah kelam yang membuntuti bayangannya.

"Sparta, lo bawa makanan ini buat gue kan? Makasih." Eric menepuk bahunya, tersenyum seakan merasakan kekhawatiran di wajah cowok itu.

UNRAVEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang