Mereka terus berdatangan satu-persatu. Melihat betapa kuatnya sosok Sparta, membuat geng Elang merasa bersemangat. Mereka mengharapkan pujian Victor jika seandainya berhasil menumbangkan Sparta. Dengan napas tak karuan, mata Sparta berkeliling memeriksa musuhnya. Penglihatannya mulai buyar, bahkan tubuh anggota Elang terlihat lebih dari satu setiap orangnya. Punggungnya bergetar sakit, kontan meringis sembari terhuyung ke depan. Melihat kelesuan itu, musuh berhasil menendangnya, Sparta melirik dan menatap raut wajah lawan yang tertawa puas.Lagi, tubuh itu dipukul keras oleh salah satu dari mereka, yang lainnya mendapat giliran sampai Sparta terlihat seperti samsak hidup. Orang yang sedari tadi mengintai dengan pistolnya, tertawa tak kalah puas. Sebutir peluru melayang cepat, berhasil melubangi betis Sparta. Kedua kaki berdiri tidak tegak dan kesulitan menghindar. Rasanya ingin menyerah, suara cercaan dan bagaimana senangnya mereka menyiksa Sparta, sudah samar-samar menghilang dari telinga.
"Apa gue akan mati di sini?" batinnya bertanya, menatap langit yang sudah semakin gelap dengan kilatan petir menghiasi.
Anggota Elang masih berdatangan, bahkan mereka tidak bisa melihat Sparta dari dekat karena terlalu banyak anggota yang datang. Bar Ravalon yang semula ramai dengan orang berjudi dan mabuk-mabukan, sekarang sudah dikuasai Elang yang menghibur diri dengan menyiksa Sparta.
"Kalau gue mati di sini ... Eric!" Sparta membuka matanya lebar, mengunci awan hitam yang sedang menatapnya dari langit.
Bayangan menakutkan tentang Eric muncul dalam benaknya, sebuah wajah yang sedang tersenyum tiba-tiba berlumuran darah. Sebuah khayalan yang sangat mengerikan, akan terjadi bila Sparta terus-menerus membuang waktunya.
"Ha? Dia barusan bilang sesuatu loh!" seru salah satu dari mereka.
"Mungkin berdoa biar masuk surga."
Beberapa anggota Elang tertawa, memukul Sparta secara bersamaan dan menginjak-injaknya penuh kepuasan. "Bagus, jangan lupa berdoa. Orang berdosa kayak lo layak mengemis masuk surga!"
Sparta melindungi kepalanya dengan kedua tangan, hantaman kaki dan beberapa benda lainnya menghujani kepala yang menjadi sasaran empuk mereka. Sehingga kepalanya merasa dingin, sebuah cairan meluncur melewati telinga dan lehernya. Tidak perlu melihat, Sparta sudah dapat mencium aroma darah miliknya sendiri.
"Anak ini! Dia belum terbaring!" Merasa kesal, karena meskipun diinjak-injak cukup lama, tubuh Sparta masih berjongkok.
"Berlagak mau selamatkan teman yang dibawa Tuan Victor, jangan bercanda!" Sebuah kaki mengayun ke saku seragam Sparta, membuat ponsel milik Davin yang semula berada di sana melayang jauh.
"Emangnya lo siapa? Ha!?"
Dagu Sparta ditendang, kepalanya secara refleks mendongak menatap langit. "Gue...." Sparta berbisik, membayangkan Eric sedang berdiri di sana dan tersenyum padanya.
[ UNRAVEL ]
"Dia pasti sudah pingsan!" Tatapan matanya fokus pada sebuah benda persegi yang beberapa saat lalu berbunyi.
Tempat kumuh itu menjadi saksi tawa puas Victor Neptunus yang diperhatikan langsung oleh Eric dalam kondisi lemahnya. Pemuda seusia Sparta itu, duduk bersandar sembari menatap langit-langit gudang yang dipenuhi rumah laba-laba. Eric mendesis kesal, semakin lama berada di tempat ini semakin membuatnya khawatir akan sesuatu. Firasat buruk terus menghantuinya sejak Victor bercerita mengenai masa lalu Sparta yang begitu menyakitkan.
"Alarm peringatan berbunyi, kayaknya Sparta memegang ponsel salah satu anggota Elang dan melawan mereka sendirian!" serunya tak habis-habis tertawa.
"Jadi suara tadi, alarm? Apa maksudnya?" tanya Eric, memberanikan diri menatap Victor.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNRAVEL [TAMAT]
Teen Fiction[ Boy X Boy CONTENT! ] [ SELESAI PART LENGKAP ] Sparta Lewis, bocah sepuluh tahun yang diperkosa Ayah temannya, lalu membunuh pelaku atas dasar dendam. Gara-gara itu, rantai dendam berlanjut pada Victor Neptunus (teman Sparta) dan merubah kehidupan...