Kaus Sparta ternodai darah setelah sebelumnya mendekap Eric begitu erat. Ia menyeret kaki lebih cepat mengikuti bankar di lorong rumah sakit, bersama beberapa perawat mengelilingi Eric yang berbaring tanpa kesadaran di atasnya. Bankar itu menghilang di balik pintu IGD, tertutup sempurna menghalangi pandangan Sparta yang dipenuhi air mata.
Tubuhnya berganti posisi berkali-kali dalam keresahan. Berdiri dan duduk, kemudian jongkok di kegelapan dini hari. Terus seperti itu tanpa kelegaan menggantikan rasa takutnya. Sparta lirik lagi jam dinding di dekat ruang administrasi, jarum pendek telah berputar ke angka 2, tetapi tak ada tanda-tanda pintu putih di depannya terbuka. Sparta jujur tak tenang, menangis pilu sembari bersila di lantai yang dingin.
Dalam kepala tak hanya berputar soal kritisnya Eric, tetapi bayang-bayang Januar yang yakin berada di sana dan menembak Eric dengan sengaja. Kesampingkan soal alasannya, Sparta sangat mendidih mengingat hal itu sampai meninju tembok dengan teriakan keras menggema.
Dari ujung lorong, siluet seorang manusia berpakaian gaun pendek selutut, berjalan mendekatinya. Begitu sampai dan berdiri iba di depan Sparta, ia ikut bersila bagai telah lama mengenal cowok itu. Menoleh dalam bingung, Sparta menatap seorang gadis bermata sembab yang rupanya mengalami kesedihan serupa.
"Siapa yang sakit?" Dia bertanya, keduanya bersandar pada tembok putih di depan ruang IGD. "Namaku Retha, ke sini temenin kakak yang mau operasi," lanjut gadis itu setelah sia-sia menunggu jawaban.
"Apa kondisinya parah?" Retha memandang penasaran pintu di depannya.
"Luka tembak." Sparta menjawab, gadis itu menolehnya lagi.
"Eh? Kok bisa?"
"Gue harus pergi."
Sparta bangkit, ia ingat harus menemui Dahlia yang juga dirawat di rumah sakit ini. Meskipun begitu, memikirkan harus bilang apa saat berhadapan dengannya soal kondisi Eric, otak Sparta seolah konslet. Cowok itu berdiri di daun pintu, menatap Dahlia yang telah dipindahkan dari ICU, katanya kondisinya sudah membaik dan tak lama lagi akan sadar.
"Iya, benar. Di sana, ruang Anggrek."
Sayup-sayup terdengar suara perawat berbicara di kejauhan, Sparta menoleh dan melihat dua pria dewasa berpakaian jas mengangguk-angguk paham dan menuju ke arahnya. Mendengar nama ruangan Dahlia disebutkan, telinga Sparta jadi sensitif dan berpikir keras siapa mereka. Saat dua pria itu berada di depannya, refleks ia menyingkir dari daun pintu dan dua pria itu masuk ke ruangan Dahlia.
"Untung aset berharga kita selamat, kalau tidak WF Entertainment bisa bangkrut." Pria berjas biru tua mengerutkan dahi, menepuk cukup keras pipi Dahlia seolah berusaha membuatnya sadar.
"Tapi distrik itu sekarang rata dengan tanah. Bagaimana?" Temannya bertanya dengan kedua tangan terlipat di dada.
"Mau bagaimana lagi, William. Kita harus bawa Dahlia ke Filipina, satu-satunya cabang distrik 21 yang tersisa."
William mengembuskan napas. "Pertama-tama, Fatur, bagaimana supaya wanita itu cepat sadar? Kita harus segera berangkat."
"Tunggu nanti malam. Kalau belum juga siuman, kita terpaksa membawanya dalam keadaan seperti ini." Fatur melihat jam di lengannya, menunjukan pukul 3 pagi. "Ayo pergi," lanjutnya.
"Bagaimana kalau dia kabur?" William masih mematung di tempat, sementara Fatur sudah berbalik dan hendak pergi.
"Anaknya sekarang sekarat, William. Kabarnya dia di tembak. Dahlia tidak akan ke mana-mana." Fatur berkata yakin, kemudian setelah beberapa saat William terdiam, mereka meninggalkan ruangan dan melihat Sparta bersandar di tembok seolah menguping pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNRAVEL [TAMAT]
Teen Fiction[ Boy X Boy CONTENT! ] [ SELESAI PART LENGKAP ] Sparta Lewis, bocah sepuluh tahun yang diperkosa Ayah temannya, lalu membunuh pelaku atas dasar dendam. Gara-gara itu, rantai dendam berlanjut pada Victor Neptunus (teman Sparta) dan merubah kehidupan...