86. Bersama

70 7 1
                                    

Pintu besar yang telah lama tak menghadirkan pemiliknya, kini terbuka dengan sukarela. Tuannya kembali tanpa paksaan, tanpa luka. Seseorang yang menunggu sekian lama, berdiri tegak di dalam kediaman mewah dengan pandangan haru. Victor melangkah ke rumah itu sembari tersenyum lega, sampai-sampai sang paman tak bisa berkata-kata melihatnya. Victor duduk dengan kaki bertumpu di atas meja, menikmati segelas anggur dingin dalam genggaman. Kedua matanya bertemu dengan Gibran, bersih tanpa dendam semula.

Sang paman duduk leluasa, entah mengapa batinnya merasa ringan. "Kenapa kamu pulang?" Ia bertanya, sebetulnya sedikit khawatir ditengah huru-hara berita kebakaran distrik kupu-kupu malam.

"Kebakaran itu, bukan gue penyebabnya." Victor menyimpan gelas, tatapan Gibran kelihatan tak yakin. "Paman, gue udah selesai sama Sparta. Kita berakhir baikan, setelah dia kasih gue pelajaran." Victor menyingkap kaus putihnya di bagian bahu, menampakkan luka sayat cukup dalam yang hampir sepenuhnya kering.

"Jadi, kamu gak membunuhnya?"

"Gue bukan orang kayak gitu. Gue tahu persis kalau ayah bersalah, seharusnya gue memikirkan perasaan Sparta," jelas Victor.

"Kamu yakin memihak Sparta? Dia pembunuh, saya tekankan lagi kalau ayahmu terbunuh oleh anak itu." Gibran seakan mencari celah, ia hanya berharap sedikit hukuman untuk teman masa kecil Victor itu.

"Mungkin karena udah bertahun-tahun, Paman. Gue capek hidup sama perasaan sesak, gue berusaha membebaskannya. Menghukum Sparta bukan solusi, gue yakin," jelasnya teguh, seakan tak mengizinkan siapa pun mempengaruhi keputusannya.

Gibran tersenyum sembari membuang napas, ia melihat setitik kelegaan dalam mata Victor yang kini teduh. Penantiannya bertahun-tahun untuk melihat Victor melunak, kini terwujud dengan cara tak terduga. Kemudian secara tiba-tiba, Victor setuju menjadi penerus Danu dan bersedia belajar mengelola perusahaan. Sebuah kabar mengejutkan yang tanpa butuh waktu lama tersebar di internet dan sampai pada seseorang yang kini tengah berada di lingkungan sekolah.

Sparta melihat berita itu dari ponsel Cakra saat meminta izin pinjam untuk menghubungi Januar yang tak masuk sekolah. Ia tersenyum melihatnya, sampai pudar saat ponsel itu diraih oleh sang pemilik. Mereka tengah berada di kelas, usai pelajaran pertama selesai dan menunggu guru berikutnya mengajar.

"Apaan senyum-senyum?" Cakra bertanya, menjatuhkan bokong di kursi sebelah Sparta.

"Januar balas pesannya?" Sparta balik bertanya, ia mengalihkan topik.

Cakra menjawab itu dengan keheningan, wajahnya pucat dengan perasaan resah mengguncang. Ia ingat kejadian malam itu, malam ketika Januar mendorong Dahlia di distrik kupu-kupu malam. Bibirnya masih membisu, ia tak mengatakan apa-apa soal ancaman Januar yang mengerikan.

"Sebenarnya dia sakit apa?" Sparta bertanya-tanya, Cakra hanya membalasnya dengan pandangan kikuk tanpa berniat menjawab.

Sepanjang pelajaran berlangsung, bahkan ketika waktu pulang tiba, Cakra tak melepaskan kekhawatiran dalam hatinya. Sesekali, ia menatap kebersamaan Sparta dan Eric yang kini tengah berjalan bersisian. Mereka searah menyusuri koridor, bersama puluhan murid lain yang tak bohong menghalangi pengawasan Cakra di lorong belakang. Punggung Sparta dan Eric kian menjauh, lalu mereka menggandeng satu sama lain seraya saling melempar senyuman.

"Gue ... harus gimana?" Cakra bimbang, ia berhenti melangkah dan membiarkan murid lain menyusulnya.

"Apa lo udah punya jawabannya? Sewaktu kita di rumah sakit nemenin Lolita, gue minta lo memilih antara gue, Eric dan Sparta."

Cakra ingat tatapan serius itu, serius bersiap membuang apa pun demi tujuannya. Januar memiliki pribadi berbeda pada malam kebakaran kemarin, seperti sosok asing yang tak pernah Cakra kenal. Sulitnya bagi cowok itu, memilih antara Januar atau Sparta dan Eric. Tembok kelas menjadi sasaran emosinya, ia tinju dengan gemetar.

UNRAVEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang