Pada akhirnya, Ramune tak bermain-main lagi soal hadiahnya. Membujuk Sparta dan Eric yang tampak marah dengan memberikan beberapa lembar uang dan memintanya untuk belanja bersama. Hadiah kondom berwarna merah berujung terlempar entah ke mana. Melihatnya saja, sudah membuat bulu kuduk Eric merinding. Terlalu memalukan untuk diingat, karena wajah merona miliknya dilihat langsung oleh Sparta dan semakin membuat salah tingkah. Sambil berjalan dengan pikiran melanglang, tangan Eric memukul-mukul pipinya untuk menepis kejadian memalukan itu.Disampingnya, Sparta melirik tak mengerti, lalu memupus jarak seakan rugi ketika jauh darinya walaupun hanya satu meter. Bulan sabit tampak mengikuti dibalik dedaunan rindang, cahayanya bersaing bersama beberapa lampu tiang di sepanjang jalan yang bermandikan daun kering. Suara langkah mereka menghapus hening, bersahutan dengan klakson kendaraan yang jauh diseberang danau. Kalau bicara soal malam, tak ada waktu terlewati tanpa dingin menusuk diri. Jaket hitam bertopi pun, bahkan belum sepenuhnya sanggup untuk menghangatkan mereka.
"Mau beli apa?" tanya Sparta, menyelipkan jari-jarinya bertaut dengan tangan Eric.
"A-apa aja," jawabnya gugup.
"Surat yang kemarin gue kasih, belum lo baca?" tanyanya lagi, tiba-tiba teringat dengan itu.
Eric menoleh, mereka memasuki jembatan kayu yang hanya cukup dilalui dua orang. "Belum, masih gue simpan di lemari."
"Apa lo benci sama nyonya Dahlia?" tanyanya.
Eric menggeleng. "Gue sayang sama ibu. Gak ada alasan buat benci."
"Tapi dia pergi bertahun-tahun ninggalin lo." Sparta menahan tubuh Eric saat nyaris tersandung kayu yang sedikit mencuat.
"Kalau cuma itu, gue tahu dia punya alasan."
Sparta terkejut sesaat, takjub ketika melihat kedua mata Eric yang penuh harapan. Sesuai dugaannya, dia bukan orang terpuruk seperti Sparta yang seringkali menyalahkan banyak hal. Baginya, Eric luar biasa. Selalu berpikir positif ditengah kerinduannya yang dahsyat, membuat Sparta tak tahan untuk merangkulnya erat-erat.
"S-Sparta? Ada apa tiba-tiba?"
"Gue sayang sama lo," sahutnya.
"Tiba-tiba bilang itu, kenapa?"
"Gak ada larangan kapan pun gue mau bilang sayang, kan?"
"Benar juga." Eric mengembuskan napas pasrah, tak ada udara leluasa di dadanya ketika Sparta memeluknya seerat ini. Saat dadanya kian sesak, Eric menepuk punggung kekasihnya. "Gue bisa mati--"
"Maaf." Sparta melepaskannya, tersenyum tanpa merasa bersalah.
Lalu, pada akhirnya pun, mereka sepakat untuk merahasiakan hubungan dari orang asing, tetapi tidak dengan beberapa teman dekat. Itu adalah solusi terbaik untuk permasalahan mereka sebelumnya. Eric mengembuskan napas, ikut teringat akan surat Dahlia yang kini bersembunyi di dalam lemari, tepat di belakang baju-baju. Keraguan merebak dalam hati, tak ada keberanian untuk menyambut kerinduan saat membaca setiap kalimat yang pasti mengundang air mata.
Langkah mereka kian menjauh tanpa jejak melewati jembatan, sudah memastikan tempat tujuan saat melihat sebuah bianglala berputar dengan lampunya yang biru. Sementara mereka masih melalui jalanan yang sunyi, jauh di tengah keramaian pasar malam tampak seorang remaja tengah berusaha memanah barisan boneka yang jaraknya cukup jauh. Satu anak panah telah diluncurkan, berharap kali ini peruntungannya berhasil dan mendapatkan salah satu boneka itu.
"ARGGGH!" teriaknya frustrasi, menatap keji pada anak panah yang berakhir menancap ke tembok.
"Dapat, Kak?" tanya perempuan kecil disampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNRAVEL [TAMAT]
Teen Fiction[ Boy X Boy CONTENT! ] [ SELESAI PART LENGKAP ] Sparta Lewis, bocah sepuluh tahun yang diperkosa Ayah temannya, lalu membunuh pelaku atas dasar dendam. Gara-gara itu, rantai dendam berlanjut pada Victor Neptunus (teman Sparta) dan merubah kehidupan...