Resah menggempur dada, melepas napas tak beraturan pada udara dingin sekitar. Tangan gemetar hebat saling terkepal di samping dada. Berusaha sekuat tenaga menapaki bebatuan tajam yang sesekali melukai telapak kaki. Mendapatkan kembali surat pemberian sang ibu adalah satu-satunya tujuan cowok itu berlari pantang menyerah pada gelisah. Meskipun perasaannya semakin tak karuan, bayangan akan tulisan tangan yang indah itu tak membohongi bahwa dia butuh. Surat Dahlia--yang mungkin kenangan terakhir darinya, ingin Eric genggam lebih lama lagi.
Sudah dekat rumahnya terlihat. Setengah membungkuk Eric berlari supaya cepat sampai. Menaiki tangga dan mengabaikan napas terengah, kepalanya digempur nyeri secara tiba-tiba. Seperti atlet yang berhasil mencapai garis finish, cowok itu memegang lututnya sakit. Rasa lelah mengikis raga, tetapi untuk tujuannya halangan apapun dapat ditelan pasrah. Termasuk sosok yang menyambutnya di kegelapan dengan latar bulan sabit dari luar jendela. Sosoknya seperti foto dalam bingkai, menunduk menyerupai siluet lalu melirik pelan-pelan.
"Gue tahu lo bakal kembali." Victor menatap dengan rambut berantakan berkat angin yang menerpa.
Tangannya menggenggam sebuah kertas yang merupakan alasan Eric untuk kembali. Victor berdiri di jendela kamarnya, berdua dengan sosok Ramune yang tengah terbaring penuh luka di lantai.
Lagi, Eric merasa muak melihat temannya terluka.
Surat itu terbuka di tangan Victor, benih curiga timbul pada Eric yang langsung mengepal emosi. Surat berharganya jatuh disembarang orang, apalagi itu adalah musuh besar kekasihnya. Kedua kaki gatal untuk maju, naluri memaksa cowok itu mendekat tanpa keraguan.
"KEMBALIKAN!" teriaknya.
Victor melekatkan selembar surat itu memenuhi wajah Eric, seketika menghentikan langkahnya dan terdorong mundur beberapa langkah. "Lo pasti sangat rindu sama orang yang nulis surat itu."
Eric diam, meraih surat kusut dari wajahnya yang mulai dijatuhi air mata. Perlahan cowok itu mendekapnya, tak memungkiri ucapan Victor untuk kali ini. Kedua mata yang biasanya dipenuhi kebencian itu, kali ini entah kenapa berubah seperti tatapan pada umumnya. Lalu, untuk pertama kali Eric tak merasa takut berdiri begitu dekat dengan seorang musuh.
"Setiap hari gue rindu," sahutnya.
"Kalau gitu kita sama."
"Jangan samakan gue--"
"Apa dekat sama Sparta supaya bisa saling mengisi kekosongan?" tanyanya seraya menatap keluar jendela.
"Orang yang cuman tahu balas dendam, gak akan ngerti walaupun gue menjelaskannya."
"Eric. Itu nama lo, kan?" tanya Victor lagi tiba-tiba.
Suasana berubah seolah tanpa permusuhan, sosok yang berdiri di sana seperti orang lain yang ingin mengajak berkenalan. Kesampingkan soal jahatnya Victor, tetapi yang mencolok kali ini adalah pandangan kesepian teramat dalam melapisi kedua bola matanya. Sungguh, jangankan untuk memukul Eric, tangan Victor saat ini bahkan tak mampu terkepal.
"Kenapa lo masih di sini, hah?!" tanya Eric berusaha tegas, tak ingin lupa jika dia bisa dilukai kapan saja.
Tangannya mengambil pecahan vas bunga di lantai, berlagak mengancam Victor dengan tubuh gemetaran.
"Orang tua gue juga udah meninggal." Lawannya menunduk rindu, tak ada tanda-tanda bahaya terlihat.
"Ini bukan saatnya sesi curhat. Lawan gue, kurang ajar!" teriak Eric menggebu.
"Lo mau tahu alasannya?"
Setiap kalimat yang dilontarkan lawan justru semakin membuat Eric naik pitam. Meskipun tak ada tanda-tanda kemarahan, tetapi tak ada alasan pula lawannya membuang energi untuk bercerita. Niat terselubung dari palung hatinya adalah salah satu hal yang harus diwaspadai.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNRAVEL [TAMAT]
Teen Fiction[ Boy X Boy CONTENT! ] [ SELESAI PART LENGKAP ] Sparta Lewis, bocah sepuluh tahun yang diperkosa Ayah temannya, lalu membunuh pelaku atas dasar dendam. Gara-gara itu, rantai dendam berlanjut pada Victor Neptunus (teman Sparta) dan merubah kehidupan...