78. Kesepakatan dan Pamit

141 23 12
                                    

[ Hari saat Elang mengepung rumah Eric, sesaat setelah kepergian Eric dan Ramune ]

"Victor, gue mau bicara."

Sparta menepis pistol dari tangan lawannya, melancarkan tembakan yang berakhir melubangi tembok rumah.

"Bangsat." Gigi Victor menggertak, menyesal tidak menembak lebih cepat dari langkah Sparta.

"Soal urusan kita ini, mau di bawa ke mana?"

"Bawa sendiri ke neraka, temui ayah gue di sana dan minta maaf!" seru Victor geram.

"Bukannya sejak awal kita hanya berdua? Di kamar yang dipenuhi kobaran api, gue yang berlumuran darah dan lo yang merasakan tekanan amarah. Gak ada siapapun lagi di sana, selain mayat Danu yang hampir gosong," jelas Sparta, duduk di atas meja ruang tamu yang nyaris pecah.

Victor membayangkan kejadian itu lagi, sekilas menciptakan nyeri yang hebat di kepala. "Biadab. Lo membahas itu tanpa ekspresi penyesalan!"

"Gimana kalau kita selesaikan masalahnya berdua, tanpa melibatkan siapapun? Dua hari lagi, gue mau kita mengatur tempat buat duel satu lawan satu. Kalau gue kalah, lo boleh membunuh gue memenuhi tujuan lo selama ini." Sparta memandangi Victor serius, tak ada tanda-tanda kelicikan di matanya.

Hampir emosinya meledak, tetapi berusaha ditahan untuk memikirkan kalimat Sparta yang tidak begitu buruk. "Kalau lo menang?"

"Gue mau hidup damai dan tolong anggap semua urusan kita selesai."

"Lo gak akan membunuh gue kalau gue kalah?"

Sparta menggeleng. "Kemenangan gue cukup ditukar dengan keselamatan Eric dan semua teman-teman gue."

Sparta terperanjat bangun. Kesadaran memenuhi seluruh raga yang kembali diisi jiwanya. Cowok itu masih dalam posisi yang sama sejak tiba di rumah Milenio, yaitu duduk di sofa tunggal dan tanpa sadar tertidur sejenak. Sparta meremas pelan kepalanya, dibangunkan paksa oleh mimpi perihal janji yang terjalin dengan Victor dua hari lalu. Kesepakatan mereka untuk menyelesaikan urusan secara pribadi, lebih menguntungkan daripada dikejar terus-menerus.

Selain itu, Victor berjanji tidak akan melukai siapapun sebelum hari duel terjadi. Namun, saat melihat Eric tertusuk di rumahnya malam tadi, membuat perasaan Sparta meragu. Cowok itu berdiri, menghampiri Ramune yang tengah tertidur lelap di atas ranjang.

Secara kebetulan, kedua mata Ramune berkedip-kedip berusaha untuk sadar. Cowok itu akhirnya membuka mata yang masih melihat samar-samar. Meskipun belum sepenuhnya sadar, Sparta dengan kasar menarik baju bagian dada Ramune sampai tubuhnya terangkat. Sang korban mengerang, punggungnya masih merasakan nyeri akibat sepatu Victor yang menginjaknya beberapa waktu lalu. Pandangan kian menjelas, Sparta masih menggenggam kuat baju Ramune dengan kening berkerut, memendam amarah dan pertanyaan yang menggunung.

"Sparta...." Bibir pucat Ramune berkata pelan, lemas seketika menyebar hanya karena mulutnya bicara.

"Bintang utama udah sadar rupanya." Sang pemilik nama tersenyum miring bersama tatapan sinis yang menusuk.

"Di mana Victor? Apa yang terjadi sama si brengsek itu?" Ramune bertanya acuh, tak mempertanyakan kalimat remeh Sparta lebih jauh.

"Tunggu dulu, lo berhutang penjelasan sama gue, Bang." Tangan Sparta meremas lebih kuat, menciptakan guncangan pada tubuh Ramune.

Saat ini, panas hatinya yang bergejolak tengah berusaha dikontrol agar tak lepas kendali. Merawatnya di rumah Milenio selama berjam-jam, sungguh membuat Sparta gerah ingin memukulnya. Namun, cowok itu tak bisa menelan mentah-mentah ucapan Victor yang bisa saja berbohong untuk menghancurkan hubungan mereka. Perihal kalimat yang mengatakan bahwa Ramune menusuk Eric sampai pingsan, terlalu sulit untuk Sparta percaya.

UNRAVEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang