25. Sebuah Kesempatan

394 57 2
                                    


Januar melihatnya pertama kali, sosok Sparta yang berdiri di depan gerbang setelah memasukinya lima menit sebelum bel berbunyi. Gerbang yang sudah tertutup rapat secara otomatis itu, menjadi salah satu latar belakang yang menyaksikan rasa lelah Sparta dan aura kemarahannya. Januar mendekat, terburu-buru sehingga kresek berisikan satu kotak bolpoin di tangan nyaris saja terjatuh. Dari kejauhan, Cakra baru saja keluar dari koperasi sekolah dengan satu buku tulis baru, melihat Januar dan Sparta.

Cakra ikut mendekat, Sparta berteriak ke arah Januar sembari memegang kerah bajunya, mengguncang tubuh itu sampai Januar merasa kesakitan.

"Eric! Dia masuk rumah sakit!" teriaknya panik.

Cakra berjalan lebih cepat, menarik Januar dari luapan emosi cowok itu dan menggantikannya menghadapi Sparta. "Di mana? Lo ke sini sendirian?" tanyanya.

"Di perumahan dekat lapangan futsal, gue gak tahu apa nama tempatnya." Sparta berjongkok putus asa, melepas rasa lemas di kaki yang rasanya sudah tak kuat untuk berdiri.

"Kenapa Eric bisa dipukuli?" Januar bertanya, tangannya sedikit gemetar.

"Apa lo penyebabnya?" Cakra menuduh, dengan nada tajam seakan apa yang dikatakannya benar.

"Woi." Januar menatap Cakra, merasa tak nyaman dengan tuduhannya.

Sparta tertegun, matanya terbuka lebih lebar saat kata-kata Cakra terdengar. Cowok itu membayangkan kembali kecelakaan yang telah menimpa temannya. Bayangan ketika Eric merintih kesakitan, serta menatap pasrah saat menyuruhnya untuk pergi. Eric mengucapkan itu sungguh-sungguh, membuat Sparta yakin kalau keputusannya untuk pergi dari sana adalah tepat.

"Dia dipukuli karena kesalahan gue. Seharusnya gue yang ditangkap mereka." Sparta menunduk semakin dalam, kedua tangannya mendekap telinga dan sedikit mengacak rambut bagian sisi.

"Kita ada ujian, sebaiknya ke kelas." Cakra menjulurkan tangan, tetapi orang yang diberikan tangan itu, tak kunjung menyambutnya.

"Tinggalkan gue sendiri." Sparta menyahut.

"Lo harus mengikuti ujian--"

"Gue bilang, tinggalin gue sendiri." Sparta mengangkat kepala, menatap tegas Cakra dan mengunci pandangannya.

Cakra menarik kembali tangannya, pergi meninggalkan Sparta yang masih berkutat pada rasa bersalah. Januar tergesa, sempat ragu untuk pergi tetapi tak bertahan lama. Dia memilih mengikuti jejak Cakra, aura dingin yang terpancar dari Sparta, membuat Januar tidak berani mengganggunya.

Sementara dari koridor lantai dua, Mandarin memperhatikan Sparta sedari tadi sambil berpegangan pada tembok pembatas. "Manda, cepat. Bentar lagi masuk," ujar teman sebangku Mandarin sembari berjalan memasuki kelas.

Mandarin menunduk, mengikuti jejak temannya memasuki kelas. Bel berbunyi, rombongan murid memasuki ruangan ujian masing-masing yang sudah diacak dengan urutan tertentu. Satu-satunya murid yang masih berkeliaran di luar, hanya Sparta. Cowok itu memilih menyusuri koridor gelisah, menyesal telah memutuskan masuk ke sekolah dan tidak bisa lagi keluar sebelum waktu pulang tiba.

Di ruangan nomer 09 yang seharusnya menjadi ruangan Sparta, tampak penuh dan hanya menyisakan satu bangku. Pengawas membagikan lembar jawaban terlebih dahulu, mereka mengisinya dengan tertib kolom nama lengkap dan identitas yang lain. Cakra berada di ruangan itu, menoleh ke bangku kosong Sparta yang berada jauh di belakang. Ia menunduk, sedikit merasa bersalah karena tidak memaksa dia lebih kuat untuk mengikuti ujian.

[ UNRAVEL ]

Menghela napas lega, Januar keluar dari ruang ujian seperti menemukan kehidupan yang baru. Menghadapi ujian Matematika di hari pertama, memang bukan sesuatu yang bagus. Meskipun begitu, melewati salah satu mata pelajaran horor, sudah membuat jiwanya terselamatkan sementara waktu. Tubuhnya berdiri di depan pintu, terdorong orang-orang yang baru saja keluar dari tempat yang sama. Januar memaki, tidak senang kedua bahunya bergantian tertabrak murid lain yang bahkan tidak menghiraukan keluhannya.

UNRAVEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang