81. Distrik Kupu-Kupu Malam (1)

135 12 8
                                    

Jari-jemari bergantian menyentuh permukaan tuts piano, menghasilkan irama lembut nan romantis yang kemudian mengalun semakin cepat. Sang pemusik memejamkan mata menikmati, kaki kanannya mengetuk lantai mengikuti irama, bersama dengan anggukan-anggukan kecil kepalanya. Benda-benda berat berdesakan dalam ruangan sempit yang beralaskan tikar merah, tampak membisu menyaksikan ekspresi pedih yang melekat di wajah cantik seorang wanita bergaun dengan warna serupa tikar. Ada luka kentara melalui nada yang tercipta, menyayat sampai ke palung jiwa saat semakin lama piano itu bekerja.

Lilin-lilin kecil di permukaan gelas yang menyala, mengelilingi tengah-tengah ruangan membentuk love. Punggung wanita berambut sepinggang bergelombang, menegak dengan kepala terangkat. Tetes air jatuh melalui matanya, tubuh dibalik gaun yang tampak kesempitan, gemetar hebat seiring irama yang menggema. Semakin kencang musik itu berkumandang, nyeri melanda setiap ujung jemari berbalut kutek hitam legam. Api pada lilin-lilin kecil di bawah kakinya bergoyang-goyang terkena embusan AC dan nyaris padam.

Dinding bercorak ksatria Mahabarata di hadapannya tak membisu lagi, seakan terdengar teriakan dahsyat darinya. Bukan, tetapi itu dari sosok lain di ruangan sebelah, teriakan pedih dan putus asa dari seorang wanita. Jemarinya terangkat, membebaskan tuts piano dari penekanan hebat semula. Hening, suara teriakan keras dari ruangan sebelah seperti tak pernah ada. Halusinasi, pikirnya. Namun, sedetik kemudian, raungan tangis melanda diiringi hantaman keras dari sebuah benda.

Wanita bergaun merah itu berdiri, melangkah tanpa alas kaki menginjak tikar yang menuntunnya hingga ke pintu. Kain tipis yang menjadi hiasan gaun di bagian pinggangnya, bertebaran dan nyaris mengenai lilin di bawah kakinya. Wanita itu keluar dengan air mata telah sepenuhnya mengering, memandang serius pintu yang tak jauh dari langkahnya. Tanpa keraguan, ia mendorong pintu tak terkunci itu, mengundang tatapan terkejut dua orang di dalamnya.

Seorang remaja tengah berderai air mata seraya menatapnya, sementara lengan yang gemetaran dan kurus, tampak diremas kuat oleh remaja lelaki yang juga menatap ke arah pintu. Wanita itu masuk tanpa izin, disambut asbak melayang berasal dari remaja lelaki yang tampak marah atas gangguan yang datang. Asbak hitam itu berhasil mengenai bahu sang wanita sampai tubuhnya sedikit goyah.

"Siapa lo?!"

Shinya Tristan, tangan kanan ketua geng Elang bernama Victor, berada di ruangan itu. Dia bertanya tak ramah pada wanita bergaun merah yang tiba-tiba masuk ke kamar khusus tamu tanpa kesopanan. Remaja perempuan berada dalam kuasanya, yakni Sofia yang merupakan kakak dari Mandarin dan kekasih Milenio sang vokalis band The Bandit.

"Kelihatannya perempuan itu... belum didandani, Tuan," ucap sang wanita menundukkan badan. "Sebelumnya maafkan atas rasa tidak sopan saya yang masuk tanpa seizin tamu," lanjutnya.

Shinya terdiam bingung, lantas melepaskan tangan Sofia yang memerah. "Ya, terserah. Lagipula, gue cuma tertarik sama Victor," sahutnya pelan, nyaris tak terdengar oleh dua orang yang lain.

"T-tolong...." Sofia menunduk, merasa ketakutan berada di tempat itu sejak beberapa hari terakhir.

"Tapi teman gue yang lain, ada yang mau make lo. Tolong dandani dia." Shinya tersenyum galak, mengeluarkan ponsel dari saku dan melihat balasan beberapa anggota Elang yang berkata ingin bersenang-senang.

Setelahnya, Shinya pergi meninggalkan ruangan. Wanita itu menutup pintu, berjalan mendekati Sofia yang langsung berangsur mundur dalam duduknya.

"Hapus dulu air matamu." Wanita itu meraih selembar tisu, mengelap pipi Sofia yang dipenuhi air mata. "Kamu baru di sini? Apa kamu dipaksa juga?" tanyanya.

Sofia terdiam, wajahnya berada begitu dekat dengan wanita itu. "Anda... sangat cantik," katanya tiba-tiba.

"Nama saya Dahlia, semua orang yang pernah melihat saya selalu berkata hal yang sama. Terima kasih," kenalnya seraya tersenyum.

UNRAVEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang