57. Last Festival : Insiden

228 32 18
                                    

Gadis itu membekap mulutnya, menatap wajah Sparta saat sedang tidur seketika membuatnya salah tingkah. Lalu, Mandarin berdiri dan menatap keluar jendela. Area lapangan masih ramai, The Bandit tengah tampil dan para murid menari di bawah panggung sambil mengikuti nyanyiannya. Melihat keseruan di luar pada jam delapan ini, merasa yakin tak ada siapa pun tertarik masuk ke kelas. Tawa orang-orang tampak tersorot lampu warna-warni dari atas panggung, memberikan rasa iri pada gadis itu. Sudah lama ia tidak tertawa sepuas mereka, bahkan mimpi mengerikan tentang masa kecilnya barusan masih menjadi bayang-bayang. Yang terlihat setiap hari dalam benaknya hanya ketakutan, penyiksaan sang ibu tiri, juga rasa kesepian dan tekanan hebat dari rumah itu.

Mandarin ingat saat keluar dari gudang setelah dikurung Dona, dia keluar dengan tubuh merah-merah karena alergi debu dan serangga. Gadis itu sampai dirawat berhari-hari di rumah sakit dan hanya dijenguk oleh Sofia.

"Manda-Manda!"

"Ada apa, Kak?"

"Ayo kita keluar sebentar! Pelayan sedang sibuk melayani tamu, kita gak akan ketahuan!"

Ingatan muncul ketika kakaknya datang memasuki kamar secara diam-diam, lalu pergi bermain tanpa sepengetahuan orang rumah.

"Kakak mau ke mana?"

Tas besar tampak memuat beberapa baju dan barang berharga. Sofia melirik penuh salah, memeluk Mandarin erat-erat.

"Kakak mau libur dulu jadi kaka, Manda."

"Apa maksudnya?" tanya Mandarin polos, gadis itu duduk di kelas delapan.

"Kakak mau pergi." Sofia tersenyum, tampak menyembunyikan kelelahannya selama ini. "Sebentar aja, nanti pasti pulang," lanjutnya.

"Kenapa pergi?" tanya Mandarin lagi.

"Karena rumah ini sempit, seperti sangkar burung. Kakak ketemu orang yang kasih pemahaman, kalau kita harus melakukan apa yang kita sukai."

Juga, kalimat terakhir dari Sofia turut muncul dalam memori. Kakaknya menghilang tanpa kabar, tetapi sorot kedewasaan yang mendadak terlihat itu membuat yakin kalau dia akan baik-baik saja. Sejak hari itu, Mandarin semakin runtuh, kesepian menjeratnya begitu membabi-buta. Berkali-kali niat hati timbul untuk pergi juga, tetapi tak pernah berani karena rasa takut yang membayangi dari Dona dan Vishnu. Lalu, ibu kandungnya, belum tentu mengizinkan Mandarin untuk mengambil keputusan itu, dia tidak berani melangkah ke mana pun dan terus bertahan.

Bertahan sangat menyakitkan.
Pergi juga tidak tahu harus ke mana.

Sejak kecil, gadis itu hidup penuh kemewahan dan kemudahan. Akan sangat mengerikan ketika turun ke jalanan dan berlalu-lalang tanpa arah.

Lelaki di belakang punggungnya, terbangun dengan mata terbuka lebar. Keringat dingin membasahi setiap inci wajahnya, memaksa mulut menelan dinginnya air liur dalam jumlah banyak. Sparta meremas jas almamater yang menyelimuti dadanya selama terlelap, menatap kosong ke arah Mandarin yang berdiri di depan jendela, serta rembulan tampak terekspos di luar sana.

Tanpa disadari, saluran air muncul dari kedua mata yang berbeda warna. Gadis berambut pirang di depannya, menoleh dengan air mata yang terjun juga. Mereka saling menatap dalam diam, terlihat kepedihan sama-sama terlukis dari pandangan teduh penuh keputusasaan malam itu. Suara kembang api meletus terdengar, mewarnai langit dengan pesonanya yang menghampar banyak.

UNRAVEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang