SATU

782 14 0
                                    

TAK ada yang ingin terbangun dengan suara lantang dan keras, menyobek telinga kita. Tak ada yang ingin menghabiskan makanan di meja sembari menyaksikan pertengkaran hebat di antara dua orang yang membesarkan dan merawat kita. Tak ada yang ingin akhir pekannya terganggu untuk sekadar mengurusi permasalahan yang tak kunjung rampung. Tak ada jalan keluar selain bersedih dan melamun. Itulah yang dirasakan Arum setiap hari. Ketika kita bisa menghabiskan waktu dengan menonton sinema atau drama yang sudah kita tunggu-tunggu perilisannya, Arum tak punya waktu untuk hal itu. Sama sekali tak punya.

Ibu dan ayahnya tak pernah berhenti berdebat soal segala sesuatu. Ayahnya yang sangat keras sering kali lupa diri hingga memukuli ibunya. Arum selalu melindungi ibunya. Sejak Arum beranjak dewasa, Arum selalu menggantikan ibunya dari kekerasan domestik yang dilakukan ayahnya. Semenjak Arum tumbuh dan ibunya lumpuh, Arum menjadi target amarah ayahnya. Hal ini terjadi semenjak ayah Arum terjebak pada kesenangan fana berjudi dan mabuk-mabukan. Abangnya-lah yang pertama kali mengenalkan ayah mereka untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Arum sendiri tak bisa melakukan apapun karena setiap kali rundingan keluarga diadakan, saran maupun perkataan Arum tidak pernah didengarkan sama sekali. Begitulah menjadi anak paling muda di sebuah keluarga, pikir Arum. Jika suaranya tidak didengarkan paling akhir, anggota keluarga lain pasti tidak mendengarkan suaranya sama sekali. Arum dianggap seorang bocah belaka yang tak tahu menahu soal urusan orang dewasa.

"Belikan aku dua botol kecil seperti kemarin malam nanti," ujar abang Arum bernama Hendri seraya melemparkan dua lembar uang ke wajah Arum. "Jangan lupa bayar hutangku yang kemarin ke si Andos."

Arum bergeming, memandangi lantai yang berkotak-kotak yang seketika menjadi satu-satunya hal yang dapat menghibur dari seisi dunia. Arum dengan tangan lemah mengais uang yang dilemparkan Hendri.

Ayah Arum, Harun, duduk bersila di depan televisi hasil tukar tambah bersama tetangga. Televisi mereka yang layarnya lebar, sudah dibeli oleh tetangga yang lain. Kini, televisi dengan kualitas seadanya selalu setia meramaikan rumah kalau pertengkaran antara Harun dan ibu Arum, Munirah, berhenti untuk sekejap. Sebelum pergi untuk memenuhi perintah Hendri, Arum menghampiri ibunya yang selalu mengurung diri di kamar, enggan ke luar apalagi berbaur dengan ibu-ibu lain di lingkungan itu.

"Ibu, Arum sudah memutuskan kalau Arum mau berhenti kuliah." Ucap Arum seraya mengusap tangan ibunya yang sedang berbaring. "Arum nanti pulang telat ya, Bu. Sepulang kuliah ada kerja kelompok. Ibu kunci kamarnya ya? Nanti Arum kasih tahu kalau Arum sudah pulang."

Ibunya tak banyak bicara. Munirah hanya mengangguk mengerti. Arum selalu meminta Munirah untuk mengunci kamar tersebut yang merupakan kamar Arum sendiri karena Harun dan Munirah sudah lama pisah ranjang. Kepulangan Arum selalu ditandai dengan ketukan di pintu kamar itu dengan khas. Pertama-tama, Arum akan mengetuk pintu sebanyak dua kali. Lalu ibunya, dari dalam akan membalas ketukan sebanyak dua kali. Jika Arum di balik pintu membalas ketukan ibunya sebanyak empat kali, maka itu adalah Arum dan ibunya aman untuk membuka pintunya.

Ayunan langkah Arum yang bertubuh mungil membawanya ke kampus dengan malas. Arum mengembuskan napasnya enggan melangkahkan diri ke dalam lift di kampusnya. Ditekannya tombol menuju lantai lima. Di dalam lift, Arum menemui tatapan datar dari salah satu dosennya.

"Pagi, Arum." Suara berat dan stereo yang khas memecahkan lamunannya.

Arum menolehkan kepalanya pada Abipraya, dosennya. Di dalam lift tersebut hanya ada Arum dan Abipraya. Arum mengangguk, enggan mengeluarkan satu katapun untuk Abipraya.

"Ada laporan dari Bu Ghanisa, kata beliau kamu bolos di kelasnya. Ada apa lagi, Arum?" tanya Abipraya datar.

Perawakan Abipraya yang jangkung begitu membuat Arum terlihat sangat kecil. Arum selalu membenci sikap perhatian dari dosen itu. Arum benci setelan jas berwarna abu-abu yang selalu dipakai Abipraya. Arum juga benci ketika Abipraya membawa tas laptop dan memakai tas ranselnya secara bersamaan. Sangat boros sekali, pikir Arum.

"Saya menunggu ibu yang sedang sakit, Pak Praya."

Lift berdenting, mereka sudah sampai di lantai lima. Arum mengangguk isyarat berpamitan pada Abipraya kemudian melenggang keluar sementara Abipraya masih berada di dalam lift tersebut, menunggu pintu lift tertutup kembali karena tujuannya bukanlah lantai lima, melainkan lantai tujuh.

.
.
.

Abipraya menyeduh kopinya sendiri. Kepulan asap muncul dari cangkir kopinya. Dari belakang, istri Abipraya, Isabella masih menyibukkan diri dengan sarapannya. Isabella merengut, ia ingin suaminya meminta untuk dibuatkan kopi olehnya, sekali saja. Abipraya yang terlewat mandiri, acap kali membuat istrinya merasa tidak dibutuhkan. Isabella tak pernah benar-benar merasa berbakti pada suaminya sendiri. Isabella pikir bahwa Abipraya adalah sosok suami yang aneh. Abipraya tak pernah meminta dibuatkan kopi atau disiapkan makan. Semuanya selalu ia siapkan dengan mandiri.

"Aku ada meeting di hotel, Mas. Berkaitan dengan kemahasiswaan, jadi aku bakalan pulang telat malam ini." Ucap Isabella dari meja makan.

Abipraya tak banyak bicara. Dengan wajah datarnya, ia mengangguk mengiyakan istrinya. Abipraya menuangkan kopinya ke dalam sebuah termos mini. Setelah itu, ia bersiap memasukkan laptop dan beberapa carik kertas berukuran A4 ke dalam tas laptopnya.

"Aku berangkat dulu, ya." Ucap Abipraya yang kemudian membuka pintu rumah dengan cepat.

"Mas, buat besok aku yang buat sarapan, ya?" ucap Isabella, sukses membuat langkah Abipraya terhenti sekejap.

Abipraya mengedarkan bola matanya berpikir untuk beberapa detik sebelum mengiyakan tawaran istrinya. "Baiklah... aku berangkat dulu. Sudah terlalu siang." Abipraya tersenyum samar pada istrinya. Isabella melambaikan tangannya tanpa seulas senyuman di wajahnya. Pintu pun tertutup rapat.

Abipraya berjalan menuju stasiun bis. Menunggu bus datang selama tiga menit kemudian pria paruh baya itu pun pergi menuju kampus. Profesinya sebagai pengajar cukup membuat Abipraya bosan. Meskipun baru tiga tahun mengajar, Abipraya sudah merasakan kejenuhan yang luar biasa dari pekerjaannya itu. Ditambah, istrinya Isabella yang selalu menggerutu soal kemandiriannya. Abipraya mengembuskan napasnya mengingat omelan-omelan Isabella padanya.

Pria itu duduk di kursi bus yang paling dekat dengan jendela. Ketika bus sudah mendekati kampus, alis dan dahi pria itu mengkerut. Manik mata coklat gelapnya memicing mendapati seorang gadis berjalan dengan sepatu lusuhnya. Abipraya mengenali sosok itu. Sosok Arum yang merupakan mahasiswinya di kampus. Mahasiswi yang pemalas dan tak sopan. Banyak dosen yang memprotes Arum karena ketidaksopanan dan kedinginan Arum pada dosen dan staf kampus. Bahkan pada teman-teman seangkatannya sendiri.

Pandangan Abipraya makin menajam tatkala melihat Arum berhenti untuk memasukan kantong plastik yang dijinjingnya ke dalam tas kuliahnya. Abipraya memperhatikan Arum sampai bus melewati gadis itu. Abipraya menolehkan kembali kepalanya ke depan, mencoba melupakan gadis itu.

Arum merupakan mahasiswi yang sangat menonjol di kampus. Penampilannya yang sangat sederhana dan lusuh justru membuatnya standout dari kebanyakan mahasiswi lain yang selalu memakai pakaian bagus dan riasan yang menawan dan natural seperti mahasiswi lainnya, pikir Abipraya.

Pria itu sendiri cukup terganggu dengan laporan-laporan dosen terkait Arum. Seketika sebuah gagasan muncul di otaknya. Abipraya berpikir, ia bisa meminta adiknya, Abizar, teman seangkatan Arum untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Arum. Abipraya yang acuh tak acuh terhadap Arum, kali ini memantapkan hatinya untuk membantu Arum. Rasa iba yang menyeruak di hati Abipraya ketika melihat sepatu lusuh Arum, sangat mengganggu ketenangannya.

.....
Wattpad pertamaku di tahun 2021
Semoga kalian suka, semoga ada banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari kisah Arum.

To be continued
Jangan lupa tekan bintangnya dan bubuhkan komentar di mana saja :)

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang