DUA PULUH TUJUH

121 7 0
                                    

ARUM memfokuskan kedua mata pada layar gawainya. Meskipun beberapa bagian layarnya sudah retak, gawainya masih bisa berfungsi dengan baik. Untung saja, layar aslinya sama sekali belum rusak, pikirnya. Satu lagi tambahan pada daftar kebutuhannya adalah tentu saja membeli handphone baru. Sejak lima tahun lalu, Arum masih menggunakan gawai bekas Arin, kakaknya. Tentu saja sistem operasi dan kinerjanya sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan produk-produk yang bertebaran hari ini.

Abipraya: Saya minta maaf, Rum. Saya paham sekali kalau saya sudah menyakiti perasaan kamu. Saya sangat tidak bermaksud untuk menghindari dan menjauhi kamu seminggu lalu. Saya hanya sedang mengalami banyak tekanan. Saya sangat berharap kamu memaklumi.

Arum: Saya juga ingin minta maaf kalau saya sudah menyinggung perasaan Pak Abi dengan tidak menerima bingkisan buah-buahan kemarin malam.

Dada Arum dibuat berdebar lebih kencang memperhatikan titik-titik pada layar pesan singkatnya muncul, hilang, muncul, dan hilang.

Abipraya tengah mengetikkan balasan untuk perempuan mungil itu. Setelah malam tadi Arum menolak kebaikan Abipraya mentah-mentah, pagi ini Arum dibuat bingung karena ia tidak tahu harus berbicara apa pada Abipraya tentang dirinya yang menolak bingkisan buah-buahan dari Abipraya.

Beritahu Abipraya kalau ia cemburu mengingat fakta Abipraya dan Isabella sudah baikan? Jelas tidak mungkin.

Abipraya: Apa kita bisa sepakat bahwa seminggu yang lalu hanyalah sebuah kesalahpahaman, Rum? Saya akui bahwa saya salah, ceroboh, dan saya tidak akan mengulanginya. Saya sangat menyesal.

Abipraya: Kamu boleh ingatkan saya kalau saya melupakan janji-janji saya seperti seminggu kemarin, Rum. Sekarang saya ingat kalau saya belum sempat membayar hutang traktir makan saya untuk kamu 😅

Arum tersenyum samar, ia kemudian menenggelamkan wajahnya di atas bantal, menangis. Pertahanannya rubuh. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Jelas sekali ia sakit hati melihat Abipraya dan Isabella bersama kembali. Tapi, dalam hatinya ia menyesal bahwa ia telah membiarkan perasaan itu tumbuh sedemikian dalam dan besar pada Abipraya.

Ia marah pada dirinya sendiri karena ia tahu bahwa ia tidak akan pernah layak dan "benar" untuk Abipraya. Ia juga marah pada Abipraya yang sepertinya tak paham kalau Arum ingin membatasi diri karena ia tak mau melibatkan diri lebih jauh lagi dalam kehidupan Abipraya.

Arum: Pak Abi, saya tidak bermaksud untuk tidak menghormati Pak Abi. . . Tapi, sepertinya saya sudah bisa mandiri sekarang. Pak Abi tidak perlu lagi membimbing saya setiap waktu. Saya paham bahwa Pak Abi ingin membantu saya menyelesaikan masalah-masalah saya. Faktanya, kehidupan saya sudah membaik sekarang. Jadi, terima kasih banyak sekali lagi. Saya tidak akan melupakan jasa Pak Abi. Saya bersyukur sekali.

Hati Abipraya tercekat—dahinya mengernyit bingung. Apakah Arum meminta saya untuk menjauhinya, pikirnya. Dilema melanda hati pria itu dengan luar biasa. Ia masih berusaha untuk memahami semuanya. Memahami perasaannya terhadap Arum, memahami situasinya dengan Isabella, memahami bahwa hidupnya akan kembali pada kondisi yang sama sebelum ia akrab dengan Arum, datar dan hampa. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa ia sudah berbaikan dengan Isabella.

Namun, kehangatan yang ia dapatkan dari Isabella bahkan tidak terasa sama lagi.

Ia akan menjalani hari-harinya tanpa Arum. Tanpa sesi makan bersama dengan Arum. Tanpa sesi berjalan di samping Arum. Tanpa sesi menemui Arum di rooftop. Tanpa sesi membantu mencarikan Arum beasiswa. Tanpa menyaksikan Arum membaca bukunya sembari bersandar di pohon besar. Hatinya terasa pengap sekali hanya dengan memikirkan itu saja—ia tak mau berpisah dengan Arum.

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang