LIMA PULUH TIGA

77 13 1
                                    

GEMA suara sepasang pemandu acara menggelegar memecah sepi. Semua perhatian audiens seketika tertuju pada stage yang berada di depan, disoroti cahaya paling terang. Arum berjalan sedikit terburu-buru untuk mencapai meja penerima tamu. Ditunjukkannya undangan pada dua orang mahasiswa yang sedang bertugas.

"Atas nama Arum Raya Cempaka." Kata Arum yang lalu memberikan undangannya pada panitia. Untung saja bukan hanya dirinya yang datang sedikit terlambat.

Salah seorang panitia kemudian merobek kupon dari undangan yang nantinya dapat digunakan untuk membeli makanan dan minuman secara gratis di kafetaria serta kupon untuk photo booth.

"Terima kasih sudah hadir, Kak Arum. Mari saya antar ke kursi." Seorang panitia berpakaian serba hitam semi-formal lalu merentangkan lengan kanannya mempersilakan Arum untuk mengikutinya.

Kecemasan Arum meningkat ketika ia menebak-nebak di antara siapa ia akan duduk. Kecemasannya perlahan berkurang tatkala panitia mengarahkannya pada area audiens dengan beberapa kursi kosongnya.

"Di sebelah sini, Kak Arum. Mohon maaf sekali, dari jurusan dan angkatan Kak Arum ternyata cukup banyak yang berhalangan hadir. Selamat menikmati acaranya, Kak Arum. Mohon ditunggu untuk kudapannya." Mahasiswa yang bertugas sebagai panitia tersebut dengan menyatukan kedua tangannya memberikan salam.

"Iya, terima kasih banyak, ya." Arum tersenyum seraya mengungkapkan rasa terima kasihnya.

Arum mengedarkan pandangannya melihat seluruh komponen acara dengan seksama. Begitu banyak meja makan bundar yang ia lihat dengan beberapa kursi yang melingkarinya. Setiap kursi diisi oleh alumni yang digabungkan dari berbagai jurusan sehingga semua alumni bisa saling bertegur-sapa bahkan bisa saling berkenalan untuk memperluas jaringan. Arum hanya dapat menemukan sepuluh hingga lima belas wajah familiar dari angkatannya. Meskipun begitu, Arum dapat menikmati acara tersebut. Bahkan, merasa senang karena bisa melihat banyak alumni lintas jurusan dan generasi.

"Arum." Suara yang familiar terdengar dari arah belakangnya.

"Abizar." Ucap Arum setengah berseru. Arum membalikkan tubuhnya tanpa memastikan apakah benar itu Abizar karena ia sudah yakin bahwa itu memang Abizar. "Abizar. . . astaga."

Abizar merangkul kemudian memeluk Arum yang masih terduduk dengan erat dan penuh haru. Arum mengusap-usap sisi bahu kiri Abizar dengan hangat. "Abizar. . ."

Abizar kemudian menarik kursi kosong di samping Arum dan mendekatkan kursinya dengan Arum. "Aku kangen, Rum. Apa kabar? Sudah dapat kudapan belum?"

"Kabarku baik. . . baik. Santai aja, aku baru sampai." Arum memerhatikan wajah Abizar dengan sangat lekat. Ia merasa bersalah karena sudah putus kontak dengan Abizar. "Aku juga kangen. Maafkan aku karena menghilang, ya."

"Jangan sekali-kali lagi hilang tanpa kabar, ya." Ucap Abizar dengan wajah serius setengah cemberut. "Mbak Inka enggak datang karena harus prepare pernikahannya, tinggal lima hari lagi. Aku bakalan kasih tahu kalau kamu ada di Bandung. Dia pasti marah sekaligus senang."

Arum tertawa dengan mata yang berkaca-kaca. "Maafkan aku, ya. Aku ikut senang karena Mbak Inka akan segera menikah. Aku diundang tidak?"

Abizar mendelikkan matanya dengan kesal. "Iya, lah!"

Arum dan Abizar tertawa dengan sangat akrab. "Gimana kabar kamu?" Tanya Arum pada Abizar.

Abizar tidak berubah sama sekali. Hanya saja, fitur wajahnya sedikit berubah dan terlihat semakin mirip dengan abangnya, Abipraya. Apalagi dengan rambut panjang hitam dan kumis tipisnya.

"Aku baik. Aku sedang S2 sekarang. . . alhamdulillah. Kamu bagaimana?"

"Syukurlah kalo kamu makin rajin. Aku. . . sekarang ngajar anak-anak di sekolah sebelah." Kata Arum. "Aku juga lagi siapin pengalaman kerja buat apply beasiswa. Semoga tahun depan udah bisa lolos. Doakan aku cepet nyusul ya, Zar."

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang