EMPAT PULUH DUA

94 8 1
                                    

ROY membukakan pintu mobil untuk Isabella, tahu bagaimana cara memperlakukan perempuannya dengan istimewa. Yang tidak ia ketahui adalah bahwa Arum melihat mereka berdua, keluar dari restoran tersebut hingga memasuki mobil. Arum yakin bahwa mereka masih memiliki hubungan spesial itu dari cara mereka berpegangan tangan sebelum akhirnya memasuki mobil.

Dada Arum berdegup begitu kencang. Ia segera berbalik arah dan berjalan tanpa melihat ke belakang. Sebuah warung kecil dituju olehnya. Sesampainya di warung tersebut, Arum termenung seraya berpikir apakah Abipraya tahu soal ini. Begitu besar kengerian yang Arum rasakan ketika berpikir kalau saja Abipraya tahu soal hal ini.

Dipejamkanlah kedua matanya seraya menarik napas. Orang-orang berlalu-lalang dan heran melihat Arum yang bersikap demikian. Gelisah, gemetaran, dan terlihat pucat.

Sudah bulat dalam hatinya untuk tidak menyampaikan kabar ini pada Abipraya. Ia tak mau lagi terlibat dalam kehidupan dosennya itu. Lagipula, itulah yang menjadi kesepakatan terakhir di antara mereka berdua beberapa waktu lalu.

🕸🕸🕸

Arum merapikan nakas kayu yang dipakai untuk menyimpan cat-cat, kuas, dan juga alat lain yang digunakannya untuk membuat karya. Kelas studio sebentar lagi akan berakhir. Anak-anak di angkatannya telah diminta kepala departemen untuk menghadiri talkshow yang diadakan di ruang seminar.

Abizar menggeser kursinya sembari sedikit mengangkatnya hingga berdecit untuk mendekat ke arah Arum. "Rum, siapa yang isi talkshow-nya? Mau hadir atau cabut aja?"

Arum menoleh ke arah Abizar sekejap sebelum melanjutkan kegiatannya mencuci kuas. "Enggak tahu. Tapi, kalau dengar-dengar, moderatornya Kakak kamu."

Abizar mengernyit sedikit, agak aneh baginya ketika Arum merujuk pada Abipraya dengan sebutan tadi.

"Pak Abi." Kata Arum segera mengoreksi.

"Oh." Kata Abizar, tak banyak memberi komentar. "Jam berapa ya mulainya?"

"Katanya sih sebentar lagi. Sepertinya pukul sebelas-an. Mau bareng?" Tawar Arum pada Abizar.

"Oh, sebentar lagi dong berarti. B-boleh. Aku mau ke kantin dulu tapi, ya." Kata Abizar.

"Boleh. Aku juga mau beli rokok dulu sebentar." Arum selesai membersihkan kuas-kuasnya. Ia mengelap tangannya dengan lap bersih kemudian menurunkan kembali lengan jaketnya yang digulung hingga sikut.

"Senimannya dari luar, ya? Makanya, Pak Abi yang moderatori?" Tanya Abizar.

"Iya. Seniman fotografi dari Prancis kalo aku lihat dari posternya." Arum berdiri sembari menepuk-nepuk celananya, membersihkannya dari debu.

"Mau beli rokok sekarang? Nanti susul aku ke kantin ya, Rum. Aku mau ke toilet dulu. Panggilan alam sebentar aja, kok." Abizar meninggalkan Arum setelah Arum tersenyum kecil seraya mengangguk mengiyakan permintaan Abizar.

Arum mengambil tas yang ia kaitkan pada easel tempatnya menaruh kanvas. Ia bergegas pergi meninggalkan studio.

Ditutupnya pintu studio dengan pelan, meninggalkan beberapa mahasiswa yang masih menyibukkan diri dengan ponselnya di dalam studio. Derap langkah kakinya membawa Arum ke arah lift. Dipencetnya tombol untuk turun. Beberapa menit kemudian, lift terbuka.

Hatinya terhenyak.

Arum mendapati Abipraya dan Isabella. Keduanya berdiri bersampingan dan sangat lekat layaknya ada perekat di antara benang-benang baju keduanya. Lengan kiri Abipraya dengan mesra merangkul pinggang istrinya itu. Hangat dan nyaman kelihatannya. Kekehan-kekehan kecil dari Abipraya dan Isabella seketika menghilang ketika mereka menolehkan pandangan ke arah pintu lift yang terbuka.

Kedua mata Arum, tanpa perintah, terasa basah karena berkaca-kaca. Arum segera memasuki lift tanpa berlama-lama. Arum berpikir dengan cepat seandainya dia pergi dan tidak jadi memasuki lift itu, justru akan membuat semuanya runyam.

Di dalam lift itu, hanya ada mereka bertiga. Arum menganggukkan kepalanya tanda sapaan. Tetap saja, ia tak mau seketika kehilangan sopan santun karena dirinya dan Abipraya memilih jalan mereka masing-masing.

Rasanya seperti bertemu seseorang yang sudah mendampingi kita sejak lama, tapi sekarang sudah tidak bicara lagi. Setidaknya, itu yang dirasakan dan dipikirkan oleh Arum.

Tak mau terbunuh oleh keheningan itu, Isabella membuka mulutnya. "Mas, aku harus ke lantai tiga dulu, ya. Ada yang harus diambil dari Bu Wadek."

"Oh, iya baiklah." Kata Abipraya pelan.

Isabella meraih tangan kiri Abipraya, membawanya ke atas dan merekatkan tangannya di antara jemari Abipraya. Kecupan singkat yang diberikan Isabella di tangan Abipraya terdengar oleh Arum.

Hati Arum sungguh berdenyut, nyeri sekali. Seperti ada yang memeras dadanya hingga kering kerontang.

Tak lama, lift berdenting dan layar kecil di atas lift menunjukkan angka tiga. Isabella melangkah ke depan dan menunggu lift terbuka. "Bye for now, Sayang. Nanti telfon ya kalau sudah mau mulai."

Tak terdengar sepatah katapun dari Abipraya. Arum menebak bahwa Abipraya hanya menganggukkan kepalanya. Arum sama sekali tidak menggerakkan tubuhnya bahkan kepalanya sejak tadi ia memasuki lift.

Kesal dan sakit yang ia rasakan saat itu. Kesal ketika mengingat bahwa kemarin Arum memergoki Isabella yang masih berhubungan dengan Roy. Kesal ketika melihat bahwa Abipraya masih dapat ditipu oleh perempuan bernama Isabella itu, pikir Arum. Dan sakit rasanya untuk melihat seseorang yang ia kagumi, disia-siakan oleh orang lain ketika ia pikir ia bisa memperlakukan orang tersebut dengan lebih baik.

Tak terasa, airmata yang menggenang merubuhkan pertahanan Arum. Mengalirlah kesedihan itu ke pipi Arum yang semakin merah. Arum segera memalingkan wajah dan mengusap airmatanya dengan cepat. Hidungnya yang berair tak bisa ia sembunyikan. Suara khas udara yang melewati hidung yang basah terdengar, membuyarkan lamunan Abipraya. Abipraya menoleh ke arah Arum. Tapi, ia tak bisa melakukan apapun. Abipraya, dahinya berkerut sedih, jelas sekali bahwa ia juga tersakiti saat itu, hatinya juga berdesir linu menyebarkan rasa sakit ke seluruh tubuhnya.

Abipraya tahu Arum mengucurkan airmata. Tapi, ia tidak boleh bertanya apakah Arum baik-baik saja, karena Arum jelas tidak baik-baik saja. Arum berpikir pada awalnya bahwa ia tidak akan menimbulkan reaksi apapun ketika melihat kemesraan Abipraya dengan Isabella. Pada akhirnya, ia hanyalah manusia biasa.

Setelah sampai di lantai dasar, Arum keluar dari lift, mendahului Abipraya. Langkahnya tidak buru-buru, tidak pula terkesan ingin menghindari. Abipraya menghela napas begitu panjang sebelum ia juga keluar dari lift. Namun, setelah agak jauh dari lift tersebut, derap langkah Arum terdengar semakin cepat untuk menuju kamar kecil.

Sesampainya di toilet yang sepi, Arum melihat cerminan dirinya di dalam kaca. Arum menarik napasnya dengan dada yang bergetar. Berkata dalam hatinya bahwa ini adalah hal yang terburuk yang pernah menimpa hatinya, ketika ia bisa menutup matanya untuk hal yang tidak ingin ia lihat tapi tidak bisa menutup hatinya untuk sesuatu yang tidak ingin ia rasakan. Airmatanya kembali menetes. Ini hal terburuk yang Arum rasakan ketika ia tidak bisa menentukan luka mana yang lebih sakit, melihat apa yang baru saja terjadi atau kesakitan ketika memikirkan apa yang tidak pernah dan tidak akan pernah terjadi.

To be continued...
I

mage source: Pinterest

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang