ENAM BELAS

147 5 0
                                    

ARUM menatapi kepulan asap lembut dan hangat. Ia menangkupkan tangannya di bibir gelas, seketika uap hangat nan basah bergelayutan di permukaan telapak tangannya. Arum mengangkat tangannya, memerhatikan telapak tangannya. Ia meremasnya, menjadikan uap tersebut lenyap. Abipraya masih memandangi tukang nasi menyiukkan nasi uduk kemudian memasukkannya ke dalam wadah mangkuk kecil demi menciptakan bentuk yang rapi, membukit cembung di atas piring.

Empat menit berselang, Abipraya membenahi posisi duduknya, bersiap menyambut makanan datang. Begitupun dengan Arum. Keduanya membantu merapikan meja agar tidak berdesakan. Pelayan membawakan dua porsi nasi uduk hangat dengan bawang goreng di atas bukit nasi uduk. Dua ekor unggas yang digoreng renyah, ayam dan bebek. Abipraya memesan lalapan lebih banyak dari biasanya.

"Mari makan." Ucap Abipraya lirih sembari menenggelamkan tangannya ke dalam kobokan air dengan potongan jeruk purut di dalamnya. Antiseptik, begitu kata orang-orang.

"Terima kasih, Pak Abi." Begitu yang Arum ucapkan sebelum menyusul Abipraya, menenggelamkan tangannya di kolam kecil air jeruk purut.

Sembari mengunyah makanan, Abipraya berbicara dengan hati-hati. "Karena sekarang sudah terlalu malam, adik saya Inka minta kamu ke kantornya besok."

"Pak Abi," Arum urung menyuapkan makanannya. "Saya sepertinya sudah sering merepotkan Pak Abi. Apakah ini tidak berlebihan?"

"Jangan seperti itu, Rum. Ini disebut dengan saling membantu." Abipraya melahap makanannya. Tak lupa, mulutnya ikut ramai dengan lalapan dan sambal goreng. "Mungkin kita bisa mulai cari beasiswa di waktu senggang. Untuk kamu."

"T-tapi..." Arum mencoba berkilah.

"Jangan lupa dikompres pakai es... luka kamu, Rum." Abipraya mengacungkan telunjuknya namun enggan menunjuk lebih dekat. "Apakah masih nyut-nyutan?"

"Pak Abi tahu dari mana sakitnya nyut-nyutan seperti itu?"

"S-saya, pernah punya lebam di area yang sama." Terang Abipraya disusul embusan napasnya yang panjang.

Arum terkejut, ditatapnya wajah Abipraya sembari bertanya-tanya di dalam hatinya apakah Abipraya pernah menjadi korban perundungan atau justru ia yang lebih sering melayangkan tinju ke sang lawan. Arum mengunyah lebih lambat menunggu pernyataan lebih detail dari Abipraya. Abipraya memindahkan tatapannya dari makanannya ke wajah Arum. Keduanya saling bertatapan.

"S-saya..." Abipraya menggaruk keningnya dengan ibu jari tangan kirinya. "Cukup sering berkelahi dulu."

Arum melarikan pandangannya ke sembarang arah. Abipraya berdehem pelan kemudian menyambar air minum untuk kemudian diteguk olehnya. "Habiskan makanannya, Rum."

Arum mengangguk pelan dan mempercepat kembali kunyahannya. Arum merasakan desiran lirih dalam hatinya tatkala Abipraya menceritakan sedikit mengenai dirinya. Sesekali keduanya berbalas pandangan dengan kikuk.

.
.
.

Arum mematung di hadapan sebuah ruko gudang yang cukup besar. Dari luar saja ia sudah bisa melihat kehangatan para pekerja di dalam gudang tersebut. Mereka masih muda dan segar. Bahkan hampir tidak terlihat sedang bekerja saking menikmati pekerjaannya. Arum memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Seseorang dari dalam gudang menyadari kehadiran Arum. Mereka melakukan kontak mata. Arum sedikit terhenyak. Ia kemudian melirik kanan dan kirinya sebelum akhirnya memberanikan diri untuk memasuki gudang.

Seseorang dari dalam gudang tersebut berjalan ke pintu kaca untuk menyambut dan membukakan pintu untuk Arum. Sesampainya di pintu kaca itu, Arum mengeluarkan kedua tangannya dan membungkukkan tubuhnya untuk menyapa.

"Arum, ya?" Tanya perempuan cantik dengan mata yang besar dan indah. Rambutnya yang legam terurai menyebrangi bahu rampingnya. Giginya berbaris rapi dalam penjagaan ketat kawat gigi. Arum terpesona.

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang