SEPULUH

189 8 0
                                    

ABIPRAYA memukul-mukul meja dengan kelima jari tangannya. Para dosen berbincang dengan hangat. Apa lagi kalau bukan memperbincangkan tentang Arum. Abipraya merasa sedikit tak nyaman ketika para dosen mulai merendahkan Arum. Mulut mereka seakan tak terhubung dengan otak. Tak ada upaya untuk menyaring ucapan-ucapan yang keluar dari mulut mereka.

"Kalau dia masuk ke kelas saya, rasanya saya mau minta dia untuk absen saja," ucap salah satu dosen seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Wah, kenapa begitu, Bu?" sahut dosen yang lainnya. "Memangnya Arum suka berulah juga di kelas Ibu?"

"Dari sekian murid di kelas, hanya dia yang diam membisu. Dia hanya akan berbicara kalau dia perlu sesuatu untuk dirinya sendiri." Lanjut dosen tadi.

Abipraya tak bisa menjaga pikirannya untuk berkonsentrasi. Jemarinya mengotak-atik keyboard laptop. Embusan napas berat dan kesal keluar dari hidung mancungnya.

"Tenang, Bu. UAS tinggal... kurang lebih satu bulan lagi. Dia kan mau berhenti kuliah setelah UAS, bukan?"

Bayangan Arum kemarin sore memenuhi pikiran Abipraya. Tetesan air mata yang menyusuri wajah Arum mengganggu ketenangannya. Gunjingan-gunjingan buruk tentang Arum yang terdengar dari mulut-mulut dosen tak beradab sangat menyakiti hati Abipraya. Abipraya tak ingin terpancing untuk menimpali mereka. Namun di sisi lain, Abipraya merasa bahwa Arum tak pantas untuk menerima gunjingan semacam itu.

Abipraya akhirnya memutuskan kalau ia tak mau tinggal diam.

"Pak Abi tuh... sabar banget ngadepin si Arum." Kata salah satu dosen, memancing Abipraya untuk membuka mulut perihal Arum.

"Bagaimana, Pak? Sudah sejauh mana Pak Abi menangani Arum?" Tanya Bu Ghanisa.

Abipraya menghela napas sambil menempelkan punggungnya ke punggung kursi. "Jadi begitu, Bu? Tanggungjawab untuk mendidik dan membimbing Arum... sekarang sepenuhnya kewajiban saya, ya?"

Dosen-dosen di sana tertegun. Tak menyangka bahwa Abipraya akan menyahuti dengan nada sedemikian rupa.

"P-pak Abi...,"

"Ibu-ibu, saya minta dengan amat sangat hormat, tolong jangan bicarakan Arum dengan cara seperti itu. Ibu-ibu sekalian tidak bisa mengurusi satu anak seperti Arum... tolonglah, minimal jangan berkomentar. Tidak enak kalau sampai didengar mahasiswa lain. Apalagi jika sampai ke telinga Arum." Abipraya memberikan senyuman pamungkasnya.

"Wah... Pak Abi terlalu dimasukkan ke dalam hati omongan saya, Pak."

"Bukan begitu, Bu," Abipraya memutar kursinya agar dapat terlihat oleh semua orang di ruangan tersebut. "Saya juga lelah dan kesal menghadapi sikap Arum. Saya akui, bukan hal mudah untuk merawat dan mendidik anak orang. Tapi mau bagaimana lagi, kalau sampai Arum berhenti kuliah... program studi kita makin banyak yang menggunjing. Bukankah itu yang selama ini kita pedulikan? Citra program studi kita, bukan kebahagiaan dan kesejahteraan mahasiswa dan mahasiswi kita?" Abipraya hampir saja meninggikan nada bicaranya. Namun ia masih bisa mengatasinya sehingga ia masih bisa menekan ketegangan.

Para dosen bergeming.
Abipraya sukses menutup mulut mereka.

"Pak... mohon maaf saya tidak bermaksud meragukan Pak Abi. Tapi, apakah Pak Abi sudah tahu betul seberapa serius tidaknya masalah yang sedang Arum hadapi?" tanya dosen lain dengan hati-hati. Tak ingin membuat Abipraya naik pitam. "Saya rasa banyak kok mahasiswa yang punya masalah di rumah. Itu bukan hal yang... baru. Tapi mereka masih bisa mengatur dan membagi kehidupan mereka."

"Sangat serius sampai-sampai petugas kebersihan sering memergoki Arum menangis di tangga darurat di samping studio," jelas Abipraya dengan matanya yang berkaca-kaca. "Sangat sangat serius sampai-sampai Arum sering bermalam di sudut tangga darurat. Tidak mau pulang dan tidak mau tidur di rumah."

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang