TIGA PULUH SEMBILAN

138 11 0
                                    

PRESENTASI pertama dari kelompok Abizar sudah selesai. Kini, saatnya Arum dan teman-teman kelompoknya maju ke depan untuk menyampaikan materi yang telah mereka rangkum mengenai salah satu teori kritik seni rupa.

Pada kelas Abipraya yang satu ini, banyak mahasiswa yang kesulitan untuk memahami materi. Abizar adalah satu-satunya mahasiswa yang sangat menyukai mata kuliah tersebut.

Abizar, pada malam sebelumnya, sempat berdiskusi singkat dengan Arum setelah mereka bertemu di balkon rumah Abizar waktu itu bersama Abipraya. Arum yang juga merasa sedikit kesulitan dalam mata kuliah itu, banyak bertanya kepada Abizar. Abizar pun sedikit tak menyangka bahwa Arum dapat seaktif seperti sekarang. Bahkan, Abizar berkata pada Abipraya bahwa Arum itu sebenarnya senang berbicara dan mengemukakan pendapat.

Kelompok Arum dihujani pertanyaan oleh mahasiswa lain. Namun, Arum dapat membuktikan bahwa mereka menguasai materi yang disampaikan sehingga sesi diskusi berjalan lancar. Perempuan itu, meskipun sudah jauh bergairah akan kehidupan, tidak pernah kehilangan ketenangan dalam setiap gestur pembawaan serta tutur katanya.

Setelah kelas Abipraya selesai, Arum mendapati pesan singkat dari Richard yang mengajaknya makan siang bersama. Awalnya, Arum tak mau pergi bersama Richard karena ia tidak mau menjadi bahan gunjingan orang. Arum menyadari bahwa orang-orang mulai sadar akan kedekatannya dengan seorang anak wakil rektor di kampusnya.

"Arum." Suara Abipraya mengacaukan konsentrasi Arum terhadap pesan singkat Richard.

Arum membalikkan tubuhnya dan menemukan Abipraya berdiri di hadapannya, menjulang tinggi berpakaian rapi.

"Pak Abi." Lirih Arum dengan lembut seraya tersenyum tipis. "Ada apa, Pak Abi?"

Semua mahasiswa bubar. Ada yang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, ada yang mengobrol sejenak sebelum meninggalkan kelas, dan ada pula yang langsung bermain gawai melepas penatnya berpikir keras.

"Saya dan Abizar mau makan siang. Kamu mau ikut?" Tawar Abipraya pada Arum.

Setelah berbulan-bulan mereka jarang berbicara dan bertegur sapa, kali ini semua keadaan telah kembali seperti semula. Abipraya sudah tak membatasi dirinya lagi. Seolah ia ingin menikmati segala keadaan, apapun itu. Entah karena kejadian yang menimpa Arum kemarin, Abipraya kembali menjadi protektif terhadap Arum.

Tanpa berpikir panjang, Arum menjawab, "Kalau Pak Abi tidak keberatan." Senyuman kecil menghiasi wajah mungil Arum.

"Baik kalau begitu. Abizar sedang ke toilet dulu, mari kita tunggu di sekitar lift saja." Kata Abipraya seraya mempersilakan Arum dengan gestur tangannya.

Arum pun menganggukkan kepalanya dan berjalan melewati Abipraya. Pria itu kemudian mengikuti langkah Arum. Keduanya menunggu Abizar di dekat toilet di sebelah kiri lift.

Dua menit berselang, Abizar sudah selesai dan telah bergabung dengan Arum dan Abipraya. Ketiganya langsung menuju lift untuk turun dan mencari makan siang.

"Kamu lagi gak sama Richard, Rum?" Tanya Abizar ketika lift sedang membawa mereka turun.

Arum menggeleng. "Enggak." Jawabnya singkat.

"Richard itu belum ambil tugas akhir, ya?" Tanya Abipraya.

"Dia lagi tugas akhir sekarang, Mas. Memang agak telat. Satu tahun lagi molor, dia bisa di-drop-out." Jelas Abizar.

Pintu lift kemudian terbuka. Ketiganya dibuat kaget ketika mendapati Isabella di depan mereka. Abizar langsung menyapa kakak iparnya itu dengan ramah. Sementara Abipraya terlihat santai dan tenang. Arum, di sisi lain, terlihat agak sinis dengan wajah datarnya. Wajahnya yang datar menyimpan begitu banyak teka-teki yang membuat Isabella bergidik ngeri.

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang