DUA PULUH EMPAT

117 3 0
                                    

PAK ANDANG menyampingkan tubuhnya seraya mencoba untuk mendekatkan mulutnya pada telinga Abipraya untuk berbisik menyampaikan sesuatu. Kedua pria itu kemudian saling mengangguk paham secara bergantian. Dosen lain masih sibuk dengan aktivitas mereka di dunia maya.

Para perwakilan mahasiswa termasuk Abizar dan Arum berdiri di sudut lain ruangan. Arum berdiri di samping Abipraya. Tak terlalu jauh dan tak terlalu dekat. Arum bisa melihat wajah Abipraya dari samping. Menawan, pikir gadis itu.

"Oke, rekan-rekan dosen dan mahasiswa, jadi... besok kita ada pengabdian ke luar kota, ke Cirebon. Tolong siapkan diri, bawa bekal secukupnya dan jaga kesehatan karena kita akan melakukan perjalanan jauh pulang-pergi." Jelas Pak Andang.

"Kita berangkat pukul berapa, Pak?" Tanya Pak Willy.

"Pukul enam pagi, ya. Supaya kita tidak terlalu siang sampai di Cirebon-nya." Tutur Pak Andang. "Kemungkinan kita akan sampai jam sepuluh atau sebelas."

Abipraya menolehkan wajahnya ke samping untuk memeriksa Arum dan Abizar. Mata mereka kembali bertemu, Abipraya dan Arum. Abipraya tak berkata apa-apa, hanya melihat gadis itu sekilas saja.

"Kamu ada topi?" Abizar bertanya pada Arum pelan. "Kita harus bawa topi supaya gak gosong."

Arum mengangguk. "Ada." Jawabnya pelan.

"Memangnya yakin mau ikut?"

"Tidak." Jawab Arum tanpa ragu.

Abizar mendelik sebal. "Kamu ini."

Pak Andang memberi instruksi kepada semua orang di ruang rapat untuk membubarkan diri dan melanjutkan aktivitas mereka. Abipraya cepat-cepat menoleh pada Abizar dan Arum.

"Temui saya di studio tiga, ya." Ucap Abipraya seraya merapikan bukunya. Pria itu kemudian mengobrol sedikit dengan dosen lain terkait acara pembekalan dosen dan aktivitas terkait lainnya. Wajah Abipraya terlihat tak tertarik dan bosan. Namun begitu, ia tetap menanggapi dosen lain yang mengajaknya berbicara. Jelas sekali ia ingin tetap menghargai koleganya.

Arum dan Abizar mengangguk paham atas ucapan Abipraya sebelumnya. Keduanya berpamitan pada dosen lain untuk menyusul Abipraya yang akhirnya pergi lebih dahulu menuju studio.

Sesaat sebelum Arum dan Abizar melewati bingkai pintu, Pak Andang menahan Arum untuk berkata, "Arum, kalau kamu tidak bisa ikut, tidak apa-apa."

Arum melihat wajah para dosen satu per satu. Setelah ia merasa yakin, barulah gadis itu menjawab, "Baik, Pak. Saya akan pikirkan dulu malam ini. Terima kasih."

.
.
.

Abipraya terlihat tengah memakai apron dan bersiap untuk memulai kelas anatomi. Tubuh jangkungnya dibalut kemeja putih yang terlihat sedikit kusut. Lengan kemejanya ia lipat sampai sikut tangannya. Otot lengannya tampak terekspos dengan percaya diri.

Kemeja putihnya terlihat agak kebesaran. Namun begitu, ototnya yang berani tetap bisa tampak. Posturnya yang gagah membuat pria itu mencuri perhatian seluruh pasang mata di mana pun dan kapan pun.

Arum mengetuk pintu seraya memasuki ruangan. Gadis itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket hangatnya. Arum memiliki kesempatan beberapa detik untuk mengagumi figur Abipraya.

"Pak Abi." Sapa Arum.

"Rum... silakan masuk." Abipraya mengikat tali apron di pinggangnya. "Abizar mana?"

"Harus lanjut kelas, jadi... tidak bisa ikut." Jelas Arum yang kini berdiri tak jauh dari pintu. "Pak Abi mau bicara soal apa?"

"Oh, saya mau tanya saja, besok kamu mau ikut ke Cirebon?" Tanya Abipraya sembari merapikan sculpting tools yang berada di nakas kayu setinggi pahanya.

Arum mengedarkan matanya untuk berpikir, juga untuk menghindari sorot mata Abipraya yang selalu berhasil mengintimidasinya.

Kalau Arum pergi, ia khawatir dengan ibunya. Ia memikirkan bagaimana agar ibunya tetap bisa makan dengan mandiri. Terlintas dalam pikirannya untuk membeli makanan kaleng yang bisa dimakan tanpa perlu dimasak terlebih dahulu. Memang hanya satu hari saja, tapi Arum tetap tak tega.

"Saya coba pikirkan malam ini, Pak Abi." Tutur Arum. "Sebetulnya saya tidak mau meninggalkan ibu sendirian."

Abipraya menghentikan aktivitasnya dan membalikkan tubuhnya menghadap Arum. Satu per satu mahasiswa mulai memasuki ruangan dan membuat ruangan itu hidup. Arum pun bergeser beberapa langkah untuk memudahkan mahasiswa lain memasuki ruangan.

"Kalau begitu tidak perlu ikut. Saya juga tidak bisa pergi karena ada keperluan lain." Jelas Abipraya, sedikit memberikan Arum kelegaan pada hatinya yang bimbang.

Arum tersenyum samar. "Pak Abi harus siapkan pameran, ya?"

Abipraya tersenyum. "Betul. Kamu mau bantu untuk display pameran saya? Tenang, saya siap sediakan nasi padang atau nasi uduk." Candanya.

Arum tersenyum lebih lebar lagi. Arum memegang erat selendang tas di depan dadanya menggunakan salah satu tangannya seolah ingin menyalurkan kebahagiaannya pada selendang itu.

"Baik kalau begitu, Pak Abi. Hubungi saya kapanpun Pak Abi perlu. Saya... pamit."

Abipraya mengangguk dengan mantap. "Hati-hati di jalan, Rum."

Arum menganggukkan kepalanya pelan.

"Oh iya, Rum." Abipraya berlari kecil menyusul Arum yang hampir meninggalkan ruangan.

"Kamu..." Abipraya melirikkan pandangannya ke kiri dan kanannya. "Sudah... makan?"

Arum memerah pipinya seraya mengulum senyumnya yang hampir menampakkan diri tak tahu malu. "S-sudah."

Abipraya ber-oh-ria dengan sedikit ekspresi kecewa di wajahnya. "Baiklah... silakan." Abipraya mengangkat tangannya mempersilakan Arum untuk meninggalkan studio itu.

Arum mengangguk dan kembali mengayunkan kakinya. Ia berjalan satu langkah, dua langkah, tiga langkah. Gadis itu kemudian membalikkan badannya dan menemui Abipraya masih berdiri di hadapannya.

"Pak Abi... sudah makan?" Tanya Arum ragu-ragu.

Abipraya mengusap tengkuknya canggung. "S-sudah."

Keduanya pun terkekeh-kekeh bersama. "Saya masih ada hutang traktir, ya." Ucap Abipraya mengenang.

Arum tersenyum lagi. "Iya." Jawabnya singkat.

"Besok... saya lunasi hutang saya, ya. Mumpung Abizar pergi ke Cirebon jadi mari kita makan sepuasnya." Pungkas Abipraya sesaat sebelum ia kembali ke studio untuk memulai kelas.

Arum menyaksikan Abipraya memasuki studio kembali. Senyuman mengembang di wajah anggunnya yang mungil. Dadanya serasa hangat dan penuh. Seluruh tubuhnya terasa berdesir seolah ada getaran yang mempercepat laju darahnya. Arum menundukkan kepala untuk memandangi sepatu yang ia kenakan, pemberian Abipraya.

"Terima kasih." Lirih gadis itu.

Arum meninggalkan area studio dan menuju lift untuk melanjutkan aktivitas dengan Inka. Tercekat hatinya kala lift berdenting dan terbuka, ditemuinya Isabella dengan seseorang yang Arum yakini adalah teman spesial Isabella.

Pria itu bernama Roy, sesama dosen. Ia memiliki jabatan lebih tinggi dari Abipraya karena ia memiliki jabatan struktural di universitas. Roy tidak lebih tinggi dari Abipraya. Kemungkinan sepuluh sentimeter lebih pendek. Perawakannya pun terlihat kurus dibandingkan dengan Abipraya.

Namun mata Roy tegas seperti milik Abipraya. Satu hal yang Arum lihat dengan seksama adalah Arum bisa melihat kelicikan dalam mata Roy, dan kesedihan mendalam seperti Palung Mariana dalam wajah Abipraya.

To be continued

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang