LIMA PULUH EMPAT

83 9 2
                                    

KESIBUKAN Abipraya sebagai pembicara saat itu menyulitkan dirinya untuk kembali menemui Arum. Meskipun begitu, Arum sempat menunggunya sembari berharap mereka bisa berbicara lagi walau hanya sebentar. Setelah acara selesai, Arum menikmati kopi bersama Abizar sembari menunggu Abipraya selama kurang lebih satu jam. Namun, tiba-tiba Abipraya menghubungi melalui telepon dan mengabari bahwa ia akan melanjutkan kegiatan hari itu dengan makan malam bersama para tamu undangan serta para pejabat struktural di kampus.

"Yah. . . Mas Abi lanjut dinner dengan para PJS." Kata Abizar setelah menerima telepon dari Abipraya. "Kita disisain berdua aja. Tadinya, aku mau ajak kalian dinner di luar. Mau dinner berdua aja gak, Rum? Aku udah laper banget, kayanya bisa makan kuda satu ekor."

Arum tertawa spontan mendengar ocehan Abizar meskipun ada secuil kekecewaan di dalam hatinya karena gagal bertemu Abipraya. "Iya, ayo. Aku juga sudah lapar."

Di perjalanan mereka menuju restoran rekomendasi Abizar, Abizar banyak bercerita tentang dirinya dan keluarganya selama mereka ditinggal Arum.

"Ibu sekarang lagi senang belajar crocheting. Mbak Inka masih dengan bisnis bajunya, bahkan sekarang buka beberapa catering setelah sewaktu kuliah beberapa kali gagal untuk jalan. Rasanya baru kemarin kami lihat kamu pindah. Sudah lama sekali, ya. Ibu juga banyak ngeluh setelah ditinggal kamu sama Ibu Muni." Kenang Abizar. "Katanya, kalo Arum sama Ibu Muni gak pernah ngeluh pas bantu kupas dan potongin bawang merah. Gak kaya Mbak Inka yang dikit-dikit ngeluh nangis matanya perih."

Arum terkekeh-kekeh pelan. "Begitu, ya?" Tanya Arum dengan antusias.

"Iya. Ibu jadi banyak ngeluh soal masak. Biasanya Ibu Muni yang banyak bantu. Sekarang gak ada yang bantu. Dan gak mau pakai jasa ART, anehnya. Tapi, sekarang sudah jarang masak. Sekarang aku yang masak, seringnya." Tutur Abizar dengan penuh kebanggaan.

"Wah! Aku gak percaya!" Seru Arum, Abizar pun tertawa usil. "Eh, tapi, Zar."

"Kenapa?"

"Ibu. . . sudah berpulang. Gak lama setelah kami pindah. Tapi, Ibu minta dikebumikan di rumahnya, di Sukabumi." Lirih Arum, spontan mengundang rasa sesal dan sedih yang luar biasa dari Abizar.

"Innalillahi, Rum." Mobil Abizar menepi di jalan yang sepi. Abizar memijat pangkal hidung mancungnya dengan rasa tak percaya. "Innalillahi wainnaillaihi rojiun." Ucapnya berulang kali.

"Aku memang egois saat itu. Gak mengabari sama sekali, maafkan aku, ya." Kesedihan dan penyesalan membayangi sorot mata Arum.

"Jangan minta maaf. . . aku paham situasi saat itu gak mudah buat kita semua. Yang penting adalah kita semua saling menghargai, memahami, dan tidak banyak menuntut ini-itu. Aku turut berduka, Rum. Kamu itu satu dari perempuan-perempuan kuat yang aku kenal."

"Terima kasih banyak, ya." Lirih Arum sembari mengenang ibunya. "Terima kasih."

Beberapa hari setelah pertemuan mereka, tepatnya kurang dari satu minggu, mereka dipertemukan kembali di acara pernikahan Inka. Sehari setelah Arum dinner dengan Abizar, Inka membuat janji dengan Arum untuk bersilaturahmi ke kosan Arum. Inka membawakan banyak makanan dan beberapa perabot serta perintilan kecil lainnya tanpa sepengetahuan Arum. Kebaikan dan perhatian seorang Inka tak pernah menyusut dimakan waktu, sama sekali tidak pernah.

Pada hari pernikahan Inka, Arum datang seorang diri, memakai sebuah midi dress berwarna krem dengan bahan bertekstur yang berkilauan jika terkena cahaya. Panjangnya selutut, dihiasi dengan payet simple namun tetap anggun dan tidak berlebihan. Sebuah tas kecil selendang berwarna coklat senada dengan gaunnya melingkar dengan anggun di bahunya. Sepasang sepatu berwarna hitam dengan model hak tahu dengan tinggi lima sentimeter menambah kesan anggun.

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang