LIMA BELAS

172 11 4
                                    

ARUM mengecek akun dompet digitalnya. Uang sejumlah lima ratus ribu rupiah sudah diterimanya malam itu. Bagian keuangan tidak bisa menyetujui pengajuan pinjaman Arum, jadi ia menggunakan 'ancaman' untuk mendapatkan uang demi membayar tunggakan kuliahnya. Baru hari ini Arum bisa bekerja kembali dengan Teh Elis di pasar barbekas. Hari ini ia dibayar sebanyak enam puluh ribu yang hanya cukup untuk meredakan perutnya saat keroncongan, tidak bisa diandalkan untuk membayar hutang dan lainnya.

Arum berhasil memotret Hana dan Alvin yang sedang 'berduaan' dan mengancam mereka untuk menyebarkan foto tersebut. Terutama pada orang tua mereka. Alvin turut mengancam Arum namun ia tak berdaya. Akhirnya Arum meminta sejumlah uang sebagai jaminan. Lima ratus ribu rupiah bukanlah uang yang besar bagi Hana dan Alvin. Mengingat mereka berasal dari keluarga berada.

Mungkin mereka tinggal menyampaikan apa kemauan mereka dan secara otomatis uang akan masuk ke rekening mereka. Sesederhana itu. Miris sekali ketika Arum membayangkan, untuk mendapatkan puluhan ribu saja Arum harus menghirup bau apek khas baju bekas, mengangkat karung yang beratnya lumayan, berkeringat, berdesakan, bekerja keras, bekerja keras, dan bekerja keras.

"Arum?"

"Iya, Teh?" Arum yang tengah menyeleksi barang di antara tumpukan baju bekas menoleh ke sumber suara.

"Rum, ini udah lumayan sore, mau pulang sekarang aja?"

"Teh Elis mau tutup sekarang, ya? Ya sudah Arum siap-siap dulu, Teh." Arum berdiri dan menepuk-nepuk pakaiannya mengusir debu yang mungkin bersemayan di kainnya.

"Rum, punten ya buat hari ini kamu dapat enam puluh ribu aja, enggak apa-apa? Penjualan hari ini agak turun." Terang Elis. "Nanti weekend pasti agak rame lagi. Barangnya lagi bagus-bagus sekarang."

"Tidak apa-apa, Teh. Lagian Arum cuma mulai tadi siang, gak seharian." Arum bergegas mengambil tasnya dan merapikan masker wajah serta memakai tasnya.

"Ini, Rum." Elis menyodorkan sejumlah uang. Satu lembar lima puluh ribu dan dua lembar lima ribu rupiah. "Makasih ya, hati-hati pulangnya."

"Iya, Teh. Sama-sama." Arum mengangguk seraya menerima upahnya.

.
.
.

Inka Rashid mengetuk-ngetuk permukaan meja yang mengkilap menggunakan kukunya yang juga mengkilap dan terawat. Inka adalah adik perempuan Abipraya sekaligus kakak perempuan Abizar Rashid satu-satunya. Proyeksi wajahnya yang menawan terlihat di atas meja kaca. Cemberut dan sedang berpikir begitu dalam. Abipraya duduk di seberangnya. Sayup-sayup celotehan orang-orang di cafe itu terdengar. Abipraya masih berusaha membujuk Inka agar dapat memberi Arum pekerjaan.

Inka sendiri sudah melakoni bisnisnya sendiri sejak awal masuk kuliah. Saat ini Inka duduk di semester tujuh desain interior dan sebentar lagi ia akan menyiapkan tugas akhirnya.

"Mas, aku gak tahu harus gimana," Inka mendengus. "Masalahnya, formasinya itu udah lengkap gitu, loh. Jadi aku bingung mau cariin posisi apa."

"Mas yakin kamu baik, jangan hanya anggap anak ini bakal bekerja sama kamu saja. Lebih dari itu, kamu akan menyelamatkan kehidupan anak ini."

Inka tersentuh nuraninya. Butuh beberapa detik berpikir dan menimang-menimang sebelum akhirnya ia memutuskan. "Ya sudah, besok atau sore ini suruh dia ke toko dan ketemu sama Michelle in case aku belum dateng. Aku kontak dulu Michelle sekarang."

"Kamu memang adik yang paling cantik. Mas yang bayar, ya. Kamu hati-hati pulangnya." Abipraya bangkit dari kursinya dan lekas mengaitkan tas pada bahunya yang tegap. Abipraya mengambil tegukan terakhir teh lemon pesanannya. Setelah itu ia mengusap mahkota kepala Inka dan bergegas meninggalkan meja mereka.

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang