EMPAT PULUH TUJUH

104 13 3
                                    

SORE itu awan terlihat hangat dan ramah, berwarna oranye dengan sentuhan merah muda. Meskipun pagi tadi cuaca agak mendung, ternyata siang harinya langit menjadi cerah dan indah hingga senja ini. Abipraya berduduk santai di balkon lantai dua rumah bersama ibunya, Marwah, sembari menikmati buah pepaya manis yang telah dipotong dadu.

Abipraya baru saja selesai mengajar satu jam lalu. Marwah mengajak Abipraya bicara tentang Isabella. Semuanya berdasar pada kekhawatiran menantunya itu yang disampaikan melalui pesan singkat, menanyakan apakah Abipraya sudah makan atau belum. Kemudian, ada juga kesempatan di mana Isabella bertanya apakah Abipraya sedang sibuk atau tidak. Tentu hal itu cukup membuat Marwah gelisah dan bertanya-tanya.

"Kamu lagi marahan sama Mbak Bella?" Tanya Marwah hati-hati.

Abipraya refleks menaruh mangkuk berisi buah potongnya. Pria itu menyelesaikan kunyahannya sebelum menjawab dengan santai, "Kenapa, Bu? Ada apa?" Abipraya kemudian mengambil botol air putih lalu meminumnya sedikit. Ia mengelap sisa makanan di bibirnya menggunakan sehelai tissue.

Tidak ada jawaban ya atau tidak yang keluar dari mulut anak pertamanya itu.

Marwah terlihat tak mampu dan tak berani untuk mengeluarkan pemikirannya. Setelah mengambil beberapa detik untuk memberanikan diri berbicara, akhirnya seluruh uneg-uneg Marwah tersampaikan.

"Kalau kalian sedang bertengkar, jangan pergi begitu saja. Selesaikanlah. . . bicaralah, jangan diam kemudian meninggalkan, Abi." Kata Ibunya. "Beritahu Ibu apa yang terjadi kalau Mas Abi cukup nyaman untuk cerita. Siapa tahu Ibu bisa bantu kasih solusi."

Abipraya termenung, larut dalam pemikirannya sendiri.

"Mas Abi. . . Ibu tahu kalau kamu sedang banyak pikiran. Ibu tahu karakter kamu bahkan sejak kamu bayi. Ada apa, Nak? Jangan buat Ibu khawatir dan berpikiran yang bukan-bukan." Lirih Marwah yang matanya mulai berkaca-kaca.

Marwah sangat mengkhawatirkan Abipraya karena pria itu adalah anak yang suka memendam perasaannya sendiri, yang tak akan bilang ketika ia sakit, tak akan mengeluh ketika ia lelah, tak akan menangis ketika ia ingin menangis. Itulah bagaimana seorang Abipraya yang selama ini dilihat dari kacamata Marwah.

"Memangnya Bella kirim pesan apa ke Ibu, Bu?" Tanya Abipraya penuh rasa penasaran pada Marwah.

"Mbak Bella kayanya khawatir karena kamu gak ada balas pesannya. Nak, kamu yakin mau pendam semuanya sendiri sementara kamu bisa cerita dengan bebas sama Ibu?" Tanya Marwah.

"Ibu yakin mau mendengarkan Abi dari awal?" Tanya Abipraya balik pada Marwah.

"Mas Abi, untuk apa Ibu bertanya tadi kalau Ibu tidak berkenan mendengarkan. Jadi, bagaimana?"

"Baiklah. . ." Abipraya menghela napas panjangnya. "Akhir-akhir ini, rasanya badan Abi semakin manja. Sedikit-sedikit langsung enggak enak badan. Repot sekali pokoknya. Ternyata, itu semua dipicu karena pikiran Abi yang sedang ruwet."

Abipraya meneguk lagi air putih dari botol sebelum melanjutkan penjelasannya. "Ibu jangan khawatir karena Abi sama Bella tidak ada masalah apa-apa. Abi hanya lagi marah karena satu hal yang berkaitan dengan kerjaan kami di kampus dan Bella kurang profesional. Tidak ada yang lain. Kebetulan. . . kesalahan Bella itu sangat-sangat riskan dan merugikan Abi. Tidak ada masalah personal dan lain-lain."

"Nak. . . kalau kamu bawa-bawa soal kerjaan ke rumah seperti ini, bukannya kamu yang tidak profesional? Terlebih, kalo kamu terlalu banyak pikiran ujung-ujungnya kan gampang sakit, imun jadi jelek."

Abipraya terdiam sejenak, berpikir apakah dia harus berterus-terang saja pada ibunya atau tidak.

"Bu. . . Abi susah untuk menjelaskannya. Tapi, yang penting, Abi hanya perlu waktu sendiri, beberapa hari tanpa Bella. Nanti, setelah otak Abi dingin, semuanya akan dibicarakan lagi, kok. Ibu jangan cemas." Kata Abipraya mencoba menenangkan Marwah.

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang