EMPAT Tahun Kemudian...
Gorden berwarna putih tulang bergoyang di tiup angin. Jarum jam menunjukkan pukul dua siang. Jam tangan dengan desain kecil dan sederhana, melingkar dengan anggun di tangan Arum. Tak henti-henti Arum mengecek jam tangannya untuk melihat sudah pukul berapa. Hatinya tak tenang karena hendak bertemu dengan seseorang.
Namanya Bimo. Dikenalnya dari sebuah aplikasi kencan instan berikon lebah bernuansa kuning terang. Bimo dikenalnya sebagai seorang pria berusia dua puluh sembilan, terpaut empat tahun dengan Arum yang kini dua puluh lima tahun. Profesinya adalah seorang arsitek, cukup mapan dan terlihat beradab, setidaknya itu kesan yang Arum dapatkan dari Bimo.
"Rum, aku sebentar lagi sampai di depan kosanmu, ya. Siap-siap tunggu di luar, ok?" Tulis Bimo pada fitur chat aplikasi tersebut.
"Ok, Bim." Balas Arum dengan singkat.
Setelah sekitar enam menit menunggu, Arum mendengar bunyi klakson dari depan bangunan kosannya. Arum langsung tahu bahwa itu adalah Bimo.
Arum meraih tas bahunya yang tergeletak di atas kasur sambil tangannya sibuk memegang ponsel, hendak menelpon Bimo.
"Halo, Bim." Kata Arum.
"Iya? Aku udah sampai, nih." Kata Bimo.
"Ok. Aku turun sekarang, ya. Mau kunci dulu kamar kosan. Sebentar."
"Ok, santai aja. Hati-hati ada yang ketinggalan." Pesan Bimo untuk Arum.
"Ok. Aku tutup dulu, ya."
"Ok. See you."
Arum mengunci kamar kosnya dengan hati-hati. Matanya mengintip sedikit melalui jendela untuk memastikan tidak ada listrik yang menyala, demi menghemat tagihan listriknya, pikirnya.
Sesampainya di depan gerbang kosan, Bimo keluar dari mobilnya lalu menyapa Arum dengan hangat. Bimo mengajak Arum bersalaman dan memperlakukan Arum dengan sangat sopan dan baik. Bimo mengitari mobil untuk membukakan pintu mobil agar Arum bisa masuk.
"Nice to finally meet you in person, Rum." Kata Bimo.
"Wah, aku juga senang akhirnya bisa ketemu. Thank you sudah mau repot jemput." Balas Arum.
"No, no. Aku yang tawari kamu. Lagipula, gak enak masa kamu harus berangkat sendiri." Bimo tertawa kecil menampilkan lesung di kedua pipinya yang manis.
Keduanya masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil, meskipun itu adalah kali pertama mereka bertemu, Arum dan Bimo sama sekali tidak canggung. Mereka malah banyak mengobrol layaknya sudah kenal bertahun-tahun lamanya.
"Jadi, ada lima orang ya di tim kamu?" Tanya Bimo.
Arum memasangkan seatbelt-nya. "Yes. Tapi, aku lagi mau resign, sih. Mau balik Bandung."
"Oh, begitu? Kenapa? Padahal kita baru ketemu, loh." Bimo mulai menancap gas seraya tertawa kecil menggoda Arum.
Arum ikut tertawa pelan. "Lagi mau suasana baru aja."
Keduanya sudah sepakat untuk pergi makan siang bersama lalu melihat pameran yang diadakan di sebuah artspace di Jakarta. Kebetulan, Bimo memiliki teman yang merupakan seorang seniman established yang sedang melangsungkan solo show-nya.
"Wait, tapi masih lama resign-nya, kan?" Tanya Bimo memastikan sembari mengerutkan kedua alisnya sehingga berdekatan.
"Nope. Aku kembali ke Bandung in two weeks, sih." Kata Arum. Ada sekilat kesedihan tertangkap dari matanya. "Aku gak bisa stay di sini lagi."
"Why?" Bimo terlihat sedih.
Arum tertawa kecil. "Nothing, hanya saja. . . aku ngerasa kalau di sini itu bukan tempatku."
"Kamu gak sendirian. Dulu, aku juga ngerasa seperti itu waktu pertama kali merantau ke sini. Tapi, sekarang sudah biasa-biasa aja." Tutur bimo. "Ya, tapi. . . semuanya balik lagi ke feeling, sih. Kalau menurutmu. . . bukan Jakarta tempatnya, ya berarti bukan. You'll know when to stop."
Arum mengangguk sembari bertatapan singkat dengan Bimo. "Thank you." Lirih Arum.
Bimo membalas dengan senyumannya yang manis. "Oh iya, aku belum kasih tahu senimannya ke kamu, ya? Namanya Abipraya Rashid, dia dari Bandung, kok. Tahu, gak? Dia sebenernya bukan temen yang deket banget, sih. Kita pernah project-an bareng beberapa waktu lalu. Dia lebih kaya mentor aku sih daripada temen."
Arum terhenyak, wajah dan seluruh tubuhnya menjadi kaku. Seketika mata dan pipinya mulai memerah. Airmata berlinang dalam sekejap. Sebelum ia meneteskan airmatanya, Arum mengangkat pandangannya ke atas. "Yes. Aku tahu." Arum tidak jadi menangis. Ada suasana yang harus ia jaga agar tetap nyaman dan menyenangkan.
"Are you okay? Kamu embusin napasnya kenceng banget." Tanya Bimo memastikan Arum baik-baik saja.
"Hm. . . iya, aku gak apa-apa, kok. Biasa, dadaku kerasa nyeri tiba-tiba. Sepertinya masuk angin." Kata Arum mengarang cerita sembari tertawa canggung.
"Nanti kita turun sebentar di depan buat beli tolak angin. Kamu bisa tunggu di mobil, okay?"
"Sorry. . . sorry banget, ya. Makasih banyak, Bim." Kata Arum sembari tersenyum pada Bimo.
Sesampainya di tempat pameran di salah satu artspace yang luas dan populer, Arum dan Bimo berjalan-jalan mengapresiasi seluruh karya yang sedang dipamerkan. Bimo juga banyak mengambil foto. Bukan fotonya dan Arum, melainkan foto ala-ala untuk keperluan publish Instagram.
Bimo mengecek handphone-nya lalu mengabari Arum. "Yah, sayang banget. Senimannya ternyata lagi gak di sini. Padahal udah lama banget gak ketemu. Pengen juga kenalin beliau ke kamu, Rum."
"Aku. . . sudah kenal kok sama beliau. Beliau dosenku dulu sewaktu kuliah." Kata Arum yang akhirnya memilih untuk berterus-terang.
"Eh, kok?" Bimo terheran-heran. "Kok bisa?"
Arum dan Bimo tertawa berbarengan.
"Iya. Ternyata ini pamerannya, ya. Aku udah lama juga gak ketemu Pak Abi." Kata Arum sembari mengenang.
"Mau ketemuan, enggak?" Kata Bimo menawari.
"Oh, enggak enggak. Gak usah, Bim. Makasih." Arum langsung mengibas-ibaskan tangannya menolak tawaran Bimo.
"Oalah, ya sudah ya sudah." Bimo tertawa kecil.
Selama kurang lebih tiga jam, Arum menghabiskan waktunya dengan Bimo melihat-lihat karya Abipraya, berjalan-jalan di sekitaran taman area pameran, menikmati kopi, dan mengobrol tentang banyak hal.
Sayangnya, hati Arum kala itu dilanda kegalauan yang luar biasa besar. Di kala dirinya baru saja ingin move on dari ingatan dan kenangannya tentang Abipraya, orang yang menjadi pilihan barunya yaitu Bimo, malah mengingatkan dan mengarahkannya kembali pada Abipraya.
"Rum, how about a second date?" Kata Bimo dengan serius. Bibirnya sedikit bergetar karena nervous.
Arum yang sedang menyeruput kopinya tiba-tiba berhenti lalu langsung menatap Bimo. Tanpa berpikir panjang, karena Arum tak ingin berlarut-larut dalam masa lalu, Arum menerima tawaran Bimo.
"Sounds good, Bim. Aku enjoy banget hari ini. Thank you, ya." Kata Arum penuh keyakinan.
Dengan begitu, Arum membulatkan kembali hatinya. Setelah tak bertukar kabar dengan Abipraya, Inka maupun dengan Abizar selama kurang lebih empat tahun lamanya, Arum membulatkan hatinya untuk memulai hidupnya yang baru.
Malam setelah kencan pertamanya, Arum bertukar pesan singkat dengan Bimo melalui WhatsApp. Tak disangka, Arum dikagetkan dengan pernyataan dari mulut Bimo.
Bimo
22.10 WIB
Sebenernya aku main dating app itu tuh buat cari calon yang serius. Aku gatau kita bakal ke mana arahnya, tapi aku naruh harapan di kamu, Rum. Aku tadi gak berani bilang ini karena gugup hahaha. Btw, thank you so much buat hari ini, ya.Arum tersentak.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Save Your Tears, My Angel
Romansa☘️ ON GOING ☘️ Gadis dingin, kasar dan tak acuh pada sekelilingnya terjebak dalam bantuan sang dosen, Abipraya. Abipraya mencari tahu kendala yang Arum lalui selama masa perkuliahan karena Arum terancam didepak dari perkuliahan. Arum tak mau meliba...