TIGA PULUH LIMA

131 6 2
                                    

Tiga bulan kemudian

PULPEN hitam berdentang pada gelas kaca bening yang terisi air separuhnya. Arum, Thalia, Patrick, Inka serta teman-teman yang lainnya tengah berdiskusi terkait jadwal peluncuran produk terbaru mereka. Patrick selaku desainer menjelaskan secara runut terkait pola baju serta keperluan produksinya.

Arum kini sudah semakin akrab dengan tim, terutama dengan Thalia karena keduanya memiliki jobdesk yang sama di bagian publikasi.

Arum menyimpan pulpen lalu mengambil gelas dan meneguk air minumnya. Bibirnya yang kering kerontang kembali segar oleh air putih. "Mbak, nanti aku tinggal tek-tok aja sama copywriting kan, ya?"

"Iya, Rum..." ucap Inka. "Ingat, usaha ini memang bukan usaha yang sudah developed. Aku gak mau kehilangan suasana ini. Aku mau kita bisa tetap enjoy kerjaan bahkan ngerasa enggak kerja sama sekali. Makanya, aku seneng ketika banyak orang yang bilang... kita itu kaya orang yang lagi kerja kelompok."

"Iya, Mbak." Ucap Arum seraya terkekeh kecil.

"Gue juga betah karena gue enggak pernah nemu pressure yang gak masuk akal di sini." Kata Patrick. "Kecuali kalo lo lagi badmood aja sih, Ka."

Inka cemberut. "Iya, iya, iya. Gue minta maaf... gue paham kalo gue masih banyak unprofessional-nya. Maka dari itu, gue sangat sangat bersyukur karena gue punya tim se-solid kalian."

"Bau bau mau traktiran, nih." Kata Thalia.

"Gila lo, ya. Gue lagi sedih jadi kagak jadi nangisnya." Lirih Inka seraya mengusap airmata yang terlanjur terjatuh dari sudut matanya yang belo.

"Ya lo, sih. Tiap tutup meeting pasti kudu nangis. Gue kan udah make up-an ah gimana sih." Kata Thalia yang juga sama-sama terlanjur menangis.

"Ngaco... gue gak tiap meeting nangis juga kali, Thal. Lo mah mulutnya emang gitu." Ucap Inka seraya menepuk pundak Thalia menggunakan notebook-nya.

"Oke, kalo gitu. Gue mau pergi sebentar, ya. Mau anterin ade gue persiapan daftar SMA." Kata Thalia.

"Oke, oke, oke." Kata Inka. "Sip kalo gitu, kita bisa bubar, ya. Thalia, Patrick, Arum, Jossy, Abel, Fifi, sama model-model sekaligus copywriters-ku Catherine dan Selene, thank you banget buat hari ini. Buat Fifi nanti bekas go-food totalannya kirim via WhatsApp, ya."

"Okey, dokey, Ka." Kata Fifi.

Arum dan tim membereskan meja dari sisa dan sampah makanan. Tak lupa, Arum memasukkan kembali buku catatan kecil dan pulpennya ke dalam totebag-nya.

Tiga bulan terakhir ini, Arum bekerja semakin giat. Memasuki semester baru, Arum bersyukur karena telah mendapatkan beasiswa eksternal yang membiayai tagihan semester serta biaya hidupnya. Meskipun tak sebesar beasiswa yang pernah ia dapatkan dulu, jumlahnya amat sangat cukup meringankan beban Arum. Kini, dia bisa lebih fokus menabung, menghidupi ibu serta dirinya sendiri, dan melunasi tunggakan-tunggakan uang kuliah dari semester-semester sebelumnya.

Tiga bulan terakhir ini juga, Arum sudah semakin jarang bertemu Abipraya secara empat mata. Meskipun keduanya banyak bertemu di rumah Inka misalnya, Arum dan Abipraya jarang bertukar cerita. Apalagi, rumor bahwa Inka berpacaran dengan Richard yang santer dibicarakan teman-teman mahasiswa, telah sampai ke telinga Abipraya. Hal tersebut semakin menguatkan alasan Abipraya untuk membatasi diri lebih ketat lagi.

.  .  .

Decit pintu membuat Arum mengambil sedikit jeda. Perempuan kecil itu berhenti sejenak untuk menarik napas. Dadanya berdegup was-was ketika pintu berhasil terbuka. Matanya memindai ruangan bagaikan seekor burung hantu. Arum bernapas lega ketika ia tak menemukan tanda-tanda kehidupan di rumah lamanya.

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang