DELAPAN

154 6 0
                                    

JARUM jam berdetak sangat tenang dibandingkan debaran hati Arum yang kacau di tengah malam itu. Di teras depan rumahnya yang gelap ada banyak sekali lelaki-lelaki tua dari berbagai kalangan melakukan pekerjaan mereka. Bermain kartu, berjudi dan mabuk-mabukan. Hendri, abangnya, ada di sana setia menemani ayah Arum. Teman ayah dan teman abangnya sesekali menggoda Arum untuk keluar rumah dan melihat mereka bermain. Arum merasa tidak aman, sama sekali tidak.

"Bu, kita di sini saja, ya.. seperti biasa. Tapi Arum mau buang air kecil dulu. Tolong kunci pintunya ya, Bu." Kata Arum setengah berbisik pada sang ibu.

Ibunya mengangguk paham. Arum lekas berlari kecil melewati ruangan tengah rumah yang lampunya sudah dimatikan. Lampu temaram jalan masih menyala menerangi jalanan dekat teras depan rumahnya. Arum sudah lelah untuk melaporkan ayahnya sendiri pada pihak berwajib. Tak kunjung ada tindakan. Jika boleh, Arum ingin sekali menggenggam dua pisau di tangannya dan menyobek leher para lelaki di luar sana yang selalu meresahkan dengan tawa nakal dan tak tahu diri milik mereka.

Setelah selesai dari kamar kecil. Arum mengetuk pintu, saling bertukar kode melalui ketukan pintu dengan ibunya. Arum bernapas lega setelah berada di kamar dengan ibunya yang tak banyak bicara. Arum merindukan saat-saat dirinya dan ibunya berbagi cerita. Arum selalu senang ketika menceritakan kehidupannya di kampus. Namun semuanya berubah, suatu hari ibunya mendadak jarang bicara. Jarang sekali bersuara. Kakinya mendadak lumpuh dan sukar digerakkan apalagi membawa tubuh ibunya untuk berjalan seperti semula. Arum dan abangnya Hendri sebenarnya sempat membawa ibunya ke orang pintar, berdasarkan saran Hendri sendiri. Kata orang pintar itu, ibu Arum diguna-guna. Ada tetangga yang sangat benci dengan ulah abang dan ayah Arum. Kemarahan yang tak tersampaikan itu diluncurkan melalui magis.

Arum sendiri sangat ingin membawa ibunya ke rumah sakit untuk menerima perawatan medis yang tepat. Namun lagi-lagi kertas yang katanya bukan bermakna kebahagiaan itu menjadi kendala satu-satunya. Arum kesal karena setelah pulang dari orang pintar, Hendri bahkan tidak repot memperbaiki dirinya. Malah beradu mulut dengan orang pintar itu.

"Bu...," Arum menghela napasnya. Ia berpikir soal membawa ibunya kabur. Ke mana saja asal mereka jauh dari ayah dan abangnya. "Ibu mau pindah rumah tidak?"

Ibunya mengangguk dengan segera. Ibu Arum mengangkat kedua alisnya ke atas seolah bertanya.

"Arum bisa sewa kontrakan murah, Bu. Ibu ikut sama Arum ya?" jelas Arum mengundang senyum kebahagiaan dari ibunya. "Kalau begitu, nanti kita berangkat kalau abang dan ayah pergi. Arum dengar besok mereka mau pergi dengan yang lain malam hari. Kita bisa pergi pas malam mereka tidak ada di rumah ya, Bu?"

Ibunya menganggukkan kepalanya dengan antusias.

"Ya sudah, Arum pergi dulu beli makanan. Perut ibu keroncongan dari tadi." Kekeh Arum.

Ibunya mengisyaratkan agar Arum pergi lewat pintu rumah belakang. Arum mengerti dan setuju.

.
.
.

Abizar memicingkan matanya. Ia menggenggam setir mobilnya lebih ketat lagi. Kepalanya celingak-celinguk mencoba memastikan sosok perempuan mungil di luar sana.

"Itu Arum," Abizar menyambar telepon genggamnya dan segera menelpon abangnya. "Mas... aku lagi di luar beli makanan dan kebetulan aku lihat Arum, Mas."

Abipraya yang berada di seberang sana cukup terkejut dengan kebetulan itu. "Bisa kamu ikuti? Mas perlu tahu di mana rumahnya. Bisa, kan?"

Abizar berdecak, mengeluh. "Astaga. Tugas lain lagi untuk beli buku? Lagipula gimana cara Abizar ngikutin diam-diam... pake mobil? Kan makin suspicious."

Abipraya terkekeh di seberang sana. Tanpa berbasa-basi lagi, Abizar menyimpan telepon genggamnya di dashboard kemudian memfokuskan pandangannya pada sosok Arum yang mungil. Abizar memerhatikan Arum yang tengah kebingungan memilih pedagang mana yang kemudian akan menerima rezeki dari tangan mungilnya. Pilihan Arum jatuh pada pedagang nasi goreng murah meriah. Sembari menunggu si pedagang selesai menyiapkan makanan, Abizar sesekali berdecak, tak sabar ingin pulang. Padahal, jarak dari lokasi mobilnya berada dengan perumahan tempat tinggalnya hanya tinggal seratus meter lagi. Abizar mendelik kesal. Meskipun begitu, rasa kebencian terhadap Arum tak pernah benar-benar tinggal di hati Abizar. Ia hanya kesal karena sikap Arum yang menurutnya aneh dan tak pantas ditiru.

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang