EMPAT BELAS

142 9 0
                                    

ARUM meringis kesakitan. Mulutnya berdesis, alisnya berkerut, giginya mengetat. Seraya bercermin menggunakan kamera depan pada telepon genggamnya, Arum mencoba memijat area matanya untuk memeriksa seberapa parah lukanya. Sejak pagi pukul sembilan tadi hingga siang ini, Arum tidak menghadiri kelasnya satu pun. Ia terlalu takut untuk menerima tatapan orang yang kebingungan ketika melihat wajah Arum dengan luka lebam seperti itu. Kalaupun Arum menutupinya dengan kapas atau apapun itu, tentunya ia akan menarik perhatian lebih-lebih lagi.

Ahh... pantas saja perih, bola matanya sampai ikut merah seperti ini. Lirih Arum dalam hatinya seraya berkaca-kaca matanya. Perempuan itu meringis menahan pedih.

Malam tadi, abangnya melayangkan tinjunya tepat di area mata dan pelipis sebelah kiri Arum. Abangnya tak terima jika Arum terus-terusan meneguk minuman miliknya. Meskipun sedikit, abangnya tetap tak terima dan merasa muak. Abangnya memberitahu bahwa ia tidak akan meminta lagi Arum untuk membelikannya minuman. Di sisi lain, Arum merasa diuntungkan karena ia tak perlu repot-repot lagi membelikan minuman untuk abangnya itu.

Di sisi lain, Abipraya sudah tak kebingungan lagi di mana ia harus mencari Arum. Ia segera menemui Agus si pemegang kunci. Setelah mendapatkan kunci cadangan, Abipraya berterimakasih dan memberikan Agus nasi padang satu bungkus. Alih-alih menerimanya, Agus menyarankan Abipraya untuk memberikannya pada Arum jika Abipraya berhasil menemui Arum. Abipraya pun menerima saran Agus.

"Saya sudah makan, Pak. Jangan khawatir. Tempe goreng, perkedel, dan sambel. Mantap, sudah kenyang, Pak." Ujar Agus meyakinkan seraya mengacungkan jempolnya yang keras namun gemetar.

"Ya sudah, kapan-kapan saya belikan kamu makan siang, ya. Terima kasih, Gus." Abipraya bergegas menuju rooftop.

Agus mengangguk sopan seraya memberikan gestur pertanda mempersilakan Abipraya.

.
.
.

Arum terperanjat ketika menyadari bahwa seseorang tengah mencoba untuk membuka pintu menuju rooftop. Seraya mencoba untuk berdiri dan merapikan pakaiannya, Arum bertanya-tanya siapa gerangan di balik pintu itu. Arum mengisap rokoknya sekali lagi sebelum ia membuangnya, menginjak dan menghancurkannya menggunakan sepatu. Setelah sebagian kecil batang rokok itu hancur, Arum memungut sisa-sisanya dan lekas menebarnya ke udara. Tembakau yang hancur nan malang itu terbang bersama angin.

Arum merapikan mahkota kepalanya sesaat sebelum pintu itu terbuka.

Abipraya.

Wajah menawan campuran khas orientalnya menyembul dari balik pintu. Abipraya bergegas menutup kembali pintunya dan menguncinya. Abipraya memasukan kunci tersebut ke dalam saku celananya, memastikannya aman dengan penuh kehati-hatian.

"Pak Abi, ada apa?" Alis Arum sedikit bertautan, aneh dan kaget dengan kehadiran Abipraya.

Arum merasa sedikit tidak enak, takut jika momen ini akan terlihat oleh orang-orang dan menimbulkan gosip baru di fakultas.

"Kamu sedang apa di sini?" Abipraya berjalan menghampiri Arum. Pria itu mengangkat lengannya dan melindungi kepalanya dari terik matahari dengan tangannya. "Saya tidak lihat kamu seharian ini."

Wajah Arum berpaling, cemas kalau-kalau Abipraya menanyakan apa yang terjadi dengan wajahnya. Dan kecemasannya terbukti secepat kilat. Belum selesai ia memikirkannya, Abipraya sudah melemparkan pertanyaan padanya.

"Wajah kamu kenapa?" Kepalanya meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri mencoba mengamati. "Arum, ada apa?"

"Tiga pertanyaan." Arum menggeleng. "Pak Abi sudah mengajukan tiga pertanyaan."

"Maaf, saya khawatir." Abipraya mengerutkan alisnya. Kecemasan dan entah emosi apa itu bercampur di wajah menawannya. Pria itu kemudian merasa sedikit canggung karena ia berpikir bahwa kekhawatirannya itu berlebihan dan tidak layak. "Ada yang bisa saya bantu, Rum?"

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang