SEMBILAN

162 7 0
                                    

ARUM mencoba menghubungi Arin untuk meminjam sejumlah uang yang hendak ia siapkan untuk menyewa kontrakan yang jaraknya hanya beberapa puluh meter dari kampus. Arum sangat bersemangat untuk mengajak ibunya pergi dari rumah. Tak apa jika para tetangga menjadikan kepindahan dan kepergian mereka sebagai bahan gunjingan. Arum takkan peduli. Arum tak bisa menemukan poin yang bagus dalam mempertahankan titel 'keluarga' di rumah tersebut. Hanya ada kebencian dan kesengsaraan. Tak ada cinta, tak berharga untuk diperjuangkan.

"Halo?"

"Iya? Kenapa, Rum?"

Arum mendengung mencari kalimat basa-basi yang sepatutnya dikatakan. Namun ia gagal menemukannya. Ia justru berkata apa adanya. "Arum sama Ibu mau nyewa kontrakan murah, Kak. Siapa tahu kakak lagi ada uang, boleh Arum pinjam dulu? Arum ada sih kak dua ratus ribu, masih perlu tiga ratus ribu buat deposit dulu."

"Memangnya kamu bisa bayar, Rum?"

Hati Arum berdenyut sakit. "Arum... sedang cari kerja paruh-waktu. Doakan saja ya, Kak." Hati Arum terluka karena Arin hanya dapat berkomentar soal kemampuan Arum untuk membayar pinjaman, dan bukan soal kepindahan mereka.

"Tapi kakak lagi gaada uang, Rum. Mas Candra juga belum gajian."

Arum sudah menyerah sebelum mencoba meyakinkan lagi. Ia tak bisa mengandalkan Arin karena Arin sudah sangat terikat dengan aturan yang dibuat oleh suaminya. Arin begitu patuh pada suaminya sampai-sampai ia tak bisa membantu keluarganya sendiri.

Arum menutup sambungan telepon tanpa berpamitan.

Sesaat setelah menutup sambungan teleponnya, tangis Arum pecah. Arum menangis dengan sangat perih, sesegukan. Ia tak bisa menahan lagi rasa kesendirian yang menyiksa. Arum tersiksa sekali untuk menghadapi semuanya seorang diri. Arum bahagia bersama ibunya. Namun ia selalu merasa sendiri. Ada sebuah kekosongan yang menggerogoti hatinya, membuat pikirannya tak waras. Berkali-kali terlintas dalam pikiran Arum untuk menyudahi hidupnya.

Ini hanya sementara. Sabarlah, sedikit lagi mungkin akan selesai. Ucapnya di dalam hati menguatkan.

Kalimat itu. Selalu kalimat itu. Kalimat sederhana namun menguatkan Arum untuk tak menyerah. Kalimat yang memikiki kekuatan spiritual yang hebat yang membuat keyakinan Arum akan kebesaran Tuhan semakin kuat lagi. Arum masih menunggu momen bahagianya. Dan Arum yakin jikalau Tuhan sudah menyiapkan momen tersebut untuk dirinya.

.
.
.

Abipraya berjalan bersama sang istri. Ayunan langkah mereka mengantarkan mereka pada lift di lantai lima, tempat Abipraya mengajar. Mereka akan segera pulang. Isabella sesekali menoleh dan tersenyum pada sang suami. Abipraya merasa tenang dan merasa hidup untuk pertama kalinya lagi, dalam waktu yang cukup lama. Begitu banyak cekcok kecil-kecilan yang terjadi di antara pasutri itu. Pernah pertengkaran di antara mereka membludak sampai-sampai mereka hampir saja berpisah. Itu adalah ketika Isabella menganggap bahwa Abipraya-lah penyebab kegugurannya. Isabella sudah dua kali mengalami keguguran. Untuk kali pertama, mereka berdua tabah dan menghadapinya bersama. Untuk kali kedua, Isabella memilih untuk menuntut tanggung-jawab pada Abipraya atas bencana yang tak akan pernah diharapkan oleh perempuan manapun.

Abipraya menekan tombol turun. Sembari menunggu, Isabella bertanya-tanya tentang pekerjaan baru sang suami, mengurus anak bandel bernama Arum.

"Mas, gimana mahasiswi bandel itu? Ada perkembangan?"

Abipraya terdiam sejenak, mencoba memproses titel 'bandel' yang Isabella berikan pada Arum. "Dia baik-baik saja sejauh ini. Tidak ada masalah apapun. Kami masih melakukan sedikit pendekatan supaya lebih akrab lagi."

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang