TIGA PULUH DUA

155 8 1
                                    

RICHARD memberikan keranjang belanja berwarna merah pada Arum sekaligus memperlihatkan dua kuas pada Arum. "Kalo ini sama ini bedanya apa?" Richard meneruskan kedua kuas dari tangannya pada tangan Arum. Dikaitkannya keranjang merah tersebut di lengannya.

Arum memperhatikan kedua kuas dengan fokus. "Ini lebih mahal karena asli dari bulu rubah. Jangan yang ambil yang ini, Cad. Ini pasti mahal." Arum memasukkan salah satu kuas ke dalam keranjang dan menyerahkan kuas yang mahal pada Richard.

"Emang berapa, sih? Gua cek dulu ya harganya." Richard berjalan menuju ke alat pengecek harga dan terkejut ketika mengetahui bahwa harga satu kuas itu bisa mencapai ratusan ribu. "Gila. Harganya tiga ratus ribu, Rum."

"Kan." Arum menghampiri Richard untuk memastikan. "Ayo, gue udah selesai."

"Lo mau kuas ini?" Richard mengacungkan kuas seharga tiga ratus ribu di depan Arum.

"Enggak dulu, deh. Gue harus nabung berapa lama buat bisa beli kuas itu." Arum melengos pergi menuju kasir.

"Jadi, cuma ini aja? Kuas tiga catnya lima warna?"

Arum yang sudah menunggu di kasir mengangguk mengiyakan. Richard kemudian menyusul Arum dan menyerahkan keranjang pada kasir untuk dihitung totalnya. Arum melirik etalase kuas yang mahal tadi dari balik pundaknya ketika tak disangka-sangka ia melihat sosok Abipraya yang baru turun dari mobilnya. Dilihatnya Abipraya dan Abizar bersiap untuk memasuki toko yang sama. Seketika dada Arum berpacu kencang.

"Cad."

Richard menaikkan kedua alisnya. "Kenapa?"

"Totalnya jadi dua ratus lima belas ribu ya, Kak. Apa ada tambahan lain, Kak?" Tanya kasir pada Richard dan Arum.

"Itu aja, Kak." Ucap Richard.

Arum segera mengeluarkan dompet usangnya dan mengeluarkan uang sebesar dua ratus dua puluh ribu dan menyerahkannya pada kasir. Arum menunggu kembaliannya dengan gelisah sementara Richard menerima sekantong plastik berisi belanjaan tadi.

"Kembaliannya, Kak."

"Terima kasih." Arum melesat menerima kembaliannya lalu berjalan ke arah pintu untuk keluar dari toko itu. Richard yang ikut terburu-buru menyusul Arum keluar.

Abipraya mematung di depan pintu toko ketika berpapasan dengan Arum. Sementara Abizar terlihat terkejut karena bertemu wajah familiar, Richard. Richard dan Abizar sesekali bertemu di cafe dan warung kopi sekitar kampus.

"Cad? Kok lo ada sini?" Abizar menunjuk ke arah Richard dan Arum bergantian seraya mengerutkan kedua alisnya bingung. "Arum?"

Arum melirikkan pandangannya pada Richard. Sementara Abipraya hanya mampu melihat pada pakaian Arum, tak memberanikan dirinya untuk melakukan kontak mata dengan perempuan itu. Begitu pun Arum yang hanya menatapi sepatu Abipraya.

"Zar, bro." Sapa Richard seraya menyalami Abizar dengan akrab. "Gua lagi nemenin Arum aja. By the way, gua kenal Arum dari. . . Kang Agus cleaning service Gedung F." Richard tetap ingin merahasiakan bahwa mereka berdua bertemu di rooftop-ketika Richard merokok di sana yang mana hal tersebut sangat melanggar aturan

"Ah, gitu. Oh, iya. . . ini abang gua, Pak Abi. Beliau dosen juga di prodi gua. Mas Abi, ini temenku Richard. . . anaknya Bu Lydia, Wakil Rektor dua." Jelas Abizar pada Abipraya.

Arum seketika mengerutkan dahinya pada Richard. Richard tersenyum canggung seakan merasa bersalah pada Arum. "Halo, Pak Abi. . . salam kenal." Richard menyalami Abipraya.

Abipraya tersenyum singkat. "Abipraya." Di dalam hatinya, Abipraya yakin bahwa Richard bertemu Arum ketika keduanya merokok di rooftop.

"Lo mau ke mana, Cad? Mau ikut kita gak? Kita mau beli beberapa art supplies dulu, terus ke toko buku, terakhir kita mau ke cafe." Tawar Abizar. "Rum, kamu ikut juga, ya."

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang