TIGA PULUH SATU

139 7 0
                                    

Satu minggu kemudian...

MALAM itu, Isabella membantu Abipraya merapikan stok makanan dan beberapa minuman ke dalam kabinet dan lemari pendingin. Di sela-sela aktivitasnya, mereka bertukar pikiran mengenai banyak hal. Ketika mereka hampir selesai dengan kegiatan mereka di dapur, Isabella mengajukan pertanyaan yang membuat Abipraya kehilangan daya untuk bergerak.

"Kamu dan Arum jarang terlihat barengan lagi, Mas. Ada apa?" Isabella menutup kontainer makanan terakhir dan memasukkannya ke dalam lemari pendingin.

Tangan Abipraya masih memegangi knob kabinet—mematung. Isabella mendongakkan wajahnya untuk melihat suaminya. Saat itu, Abipraya belum menolehkan wajahnya pada istrinya.

Abipraya menutup kabinet dengan perlahan. Pria jangkung itu tak mengucapkan apa-apa selain menyugar rambutnya yang makin hari makin tumbuh memanjang.

"Aku sudah selesai membantunya. Dia sudah bisa berjalan sendiri." Jelas Abipraya. Ia kemudian meninggalkan Isabella di dapur sendirian dan menuju ruang tengah.

Isabella masih dapat melihat suaminya karena tidak ada pembatas sama sekali antara dapur dan ruang tengah rumah mereka.

"Mas?" Isabella mengikuti Abipraya.

Abipraya sadar bahwa Isabella mengikutinya. Sembari masih berjalan menuju ruang tengah, Abipraya bertanya, "Kenapa?"

Abipraya duduk di sofa yang mengisi ruang tengah. Ia kemudian mengangkat kedua kakinya ke atas sofa dan menarik comforter untuk menghangatkan kakinya. Isabella kemudian duduk di samping Abipraya lalu menarik comforter untuk mendapatkan kehangatan yang sama.

"Aku senang karena urusan kamu dengan Arum sudah selesai," terang Isabella blak-blakan. "Aku selalu ngerasa kurang nyaman ketika ada di sekitar dia. Meskipun ibu kamu sudah menganggap dia seperti anaknya sendiri, image yang aku terima dari Arum susah sekali untuk berubah."

"Aku juga sudah anggap dia seperti keluarga. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan dari Arum. Dia anak yang baik." Protes Abipraya tanpa memperlihatkan bahwa ia tidak setuju dengan istrinya itu. "Kamu harus sesekali menghabiskan waktu dengan dia supaya kamu tahu."

"Ah, seperti itu." Sedikit penjelasan dari Abipraya berhasil membungkam Isabella. "Satu waktu mungkin aku bisa mengenal dia lebih dekat."

Abipraya tersenyum sedikit. Tangannya meraih pinggang Isabella dan menariknya untuk mendekat. Isabella melingkarkan lengannya memeluk suaminya kemudian Abipraya mengecup puncak kepala Isabella. Isabella mengistirahatkan kepalanya di dada bidang milik Abipraya. Setelah itu, mereka menyalakan televisi dan menghabiskan malam untuk menonton film yang belum sempat mereka selesaikan.

Di sela-sela waktu luangnya, Abipraya sesekali terenyuh mengingat Arum. Hatinya berdesir—menghangat ketika Arum menguasai pikirannya. Tapi ada satu perasaan yang menusuk dadanya—linu dan nyelekit. Pengakuan Arum terhadap perasaannya sangat mengacaukan hari-hari Abipraya. Momen tersebut menggentayanginya setiap detik setiap menit setiap jam. Seakan momen itu telah merasuk ke dalam waktu, dan akan tetap hidup bersamanya selama jam masih berdentang, selama angin masih berhembus, selama burung masih bernyanyi, dan selama bulan masih merindukan bintang.

.  .  .

Arum membuka pintu rooftop dan terkejut karena ternyata pintu itu tidak terkunci. Lebih mengejutkan lagi karena ia mendapati seorang lelaki kurang lebih seusianya di sana. Lelaki itu menyesap rokoknya sembari duduk di pinggiran rooftop—persis seperti yang selalu Arum lakukan.

Lelaki itu tinggi. Kemungkinan tingginya seratus tujuh puluh lebih. Perawakannya tidak kurus dan tidak juga berisi. Rambutnya terlihat rapi dengan potongan buzzcut-nya. Kulitnya langsat seperti buah sawo. Ia mengenakan swearshirt hitam dan membalut lehernya dengan kalung chain kecil berwarna silver. Arum sudah bisa menebak kalau lelaki itu sangat stylish dan tentunya hidupnya berkecukupan.

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang