SEBELAS

174 11 1
                                    

ABIZAR menaruh sebuah gelas berisi jus jeruk di atas meja. Ia kemudian menarik kursi dan lekas menghempaskan tubuhnya di sana. Pandangan Abizar tak lepas dari Abipraya yang tengah membaca buku seraya menikmati kopi pahitnya. Hari ini hari sabtu. Jadwal Abipraya berkunjung ke rumah orang tuanya. Abipraya pergi sendiri tanpa Isabella. Bahkan, Isabella mungkin saja tidak tahu jikalau Abipraya pergi ke rumah orang tuanya. Setahu Isabella, Abipraya berpamitan untuk sedikit berolahraga di sekitaran perumahan.

Abizar menghidupkan gadget-nya dan kemudian berseluncur ke berbagai media sosial. Mencoba membuat dirinya tak ketinggalan soal apapun yang sedang viral di media sosial. Abipraya memerhatikan Abizar dalam hening. Abizar pun demikan. Mereka saling curi pandang.

"Mas." Lirih Abizar setengah berbisik.

Tiba-tiba, adik perempuan Abipraya, muncul dan memutuskan untuk bergabung dengan kakak dan adiknya. Inka Nanda Rashid. Ia lebih tua dua tahun dari Abizar dan lebih muda sepuluh tahun dari Abipraya. Abizar yang sempat ingin mengucapkan sesuatu tiba-tiba mengurungkan niatnya. Abizar sedikit gelisah dengan kehadiran Inka.

"Kenapa kamu? Kok tegang gitu mukanya?"

Abipraya mengangkat wajahnya dari buku dan melihat ke dalam wajah adiknya, Abizar dan Inka secara bergantian.

"Mbak Bella ke mana, Mas?" tanya Inka seraya menyuapkan brownies panggang ke dalam mulutnya. "Mas sendirian?"

Abipraya mengembuskan napasnya cukup kencang. Kepalanya menggangguk pelan sebanyak satu kali.

"Mas, kemarin aku ketemu sama Arum." Abizar mulai tak mempedulikan keberadaan Inka. "Mas, dia pergi ke warung yang... yang jual minuman."

"Minuman apa? Arum itu siapa?" tanya Inka mulai penasaran.

Abipraya mendorong tubuhnya agar bisa bangkit dari kursinya dan mengisyaratkan Abizar untuk mengikutinya dengan gerakan tangannya. Abizar mengangguk dan ia melangkahkan kaki dengan cepat. Mereka meninggalkan Inka sendirian di ruang makan.

"Lah? Kok aku ditinggal, sih?" protes Inka.

Abipraya dan Abizar menoleh untuk memberikan sedikit perhatian pada Inka yang setengah tersenyum setengah cemberut dengan brownies-nya.

.
.
.

Arum berjalan memasuki sebuah pasar yang tak terlalu padat oleh pengunjung. Namun padat oleh pakaian-pakaian bekas yang baunya khas. Semacam bau apek yang tajam menguar dari sana sini. Arum memakai maskernya, tak ingin merepotkan diri menahan bau apek tersebut. Arum mulai berjalan lambat-lambat seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku baju hangatnya. Sore itu, niatnya adalah untuk berkunjung ke salah satu lapak langganannya. Satu baju bisa berharga senilai sepuluh ribu saja. Dan Arum sangat suka itu. Tapi kali ini, Arum tidak berkunjung untuk membeli pakaian. Ia mencoba mengadu nasib untuk menjadi seorang karyawan.

Beberapa blok dilalui Arum, ia sampai di sebuah lapak yang cukup banyak dilalui orang-orang. Ia menyembulkan kepala ke sana sini mencoba mencari si pemilik. Mereka sudah berbicara sebelumnya dan Arum kali ini pergi untuk memastikan bahwa si pemilik lapak masih membutuhkan tenaga tambahan.

"Sore, Teh."

(Teteh/Teh: Panggilan untuk seorang perempuan yang lebih tua; kakak perempuan)

"Eh, Arum." Seorang perempuan bernama Elis menoleh ketika ia masih menggantung-gantungkan hanger yang sudah dipasang pakaian. "Sini Rum, ke pojok."

Arum menerobos para pengunjung lapak yang jumlahnya cukup lumayan banyak, delapan orang. "Permisi."

Arum sampai di meja kasir. Elis mengajak Arum untuk duduk lesehan di lantai. "Jadi gini, Rum. Kamu bisa kerjanya setiap hari apa aja?"

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang