EMPAT

172 10 0
                                    

ABIPRAYA menyodorkan kotak sepatu pada Abizar yang tengah menikmati makan siangnya di kafetaria kampus. Abizar menyimpan sendoknya dan menarik sehelai tisu kemudian membersihkan sudut bibirnya. Abipraya belum mengucapkan sepatah katapun. Abizar memandangi Abipraya yang sibuk mengetuk-ngetuk jari telunjuknya ke kotak sepatu yang masih terbungkus rapi itu.

Abizar membuang muka, menghela napas. "Kenapa lagi, Mas?"

Hanya di kafetaria dan luar kampus-lah Abizar diizinkan untuk memanggilnya dengan sebutan 'Mas'. Abizar terlihat sedikit kesal karena Abipraya tak biasanya bertingkah seperti itu. Abipraya yang cenderung tak banyak bicara selain di kelas, tenang dan pendiam mendadak menjadi pria paling cemas dan khawatir di dunia.

"Tolong berikan ini ke Arum, ya." Ucap Abipraya.

Kedua mata hitam Abizar sontak membelalak. Abipraya mendorong kotak sepatu itu, mendekatkannya pada Abizar sampai piring makanan Abizar hampir terjatuh. Abizar dengan kecekatan yang luar biasa, menahan piringnya agar tak jatuh. Ia kemudian mengambil dan menyimpan kotak sepatu tersebut di samping kursinya.

"Mas, Bizar tau kalau Mas Abi pengen bantuin Arum. Tapi masalahnya, bukan begini caranya, Mas. Arum itu perempuan yang... rumit. Dia pasti akan berprasangka buruk kalau Mas Abi langsung memberinya barang seperti ini." Kata Abizar seraya berkeluh-kesah.

Abipraya mengernyitkan dahinya berpikir. "Lalu, harus bagaimana?"

"Mas, Arum harus diajak bicara dulu baik-baik, empat mata. Mas Abi jelaskan niat baik Mas Abi ke Arum," jelas Abizar. "Arum bisa marah kalau Mas Abi langsung kasih dia sepatu. Itu kelihatan seperti bribing. Apalagi ngasih sepatunya lewat Bizar. Kan agak lain juga."

"Kamu yakin sama pemikiran kamu?" tanya Abipraya seraya memicingkan matanya.

"Mas, aku punya banyak pengalaman soal perempuan, percaya deh." Ucapnya meyakinkan sang kakak. "Bagaimana pertemuannya?" tanya Abizar hati-hati.

"Kenapa kamu tau ada pertemuan? Apa kabarnya tersebar?"

Abizar mengembuskan napasnya yang berat. "Hanna, Kak Alvin, Gea dan Dito dipanggil Pak Andang. Selesai bertemu Pak Andang, Dito menceritakan semuanya pada anak-anak. Mereka tau kalau Arum yang menyebarkan keburukan mereka."

"Apa mereka memarahi Arum? Di mana Arum sekarang?"

Abizar mengembuskan kembali napasnya dengan lebih berat dari sebelumnya. "Hanna sama Arum bertengkar. Hanna marah-marah ke Arum. Hanna ngancam Arum untuk nyebarin kebiasaan merokok Arum di rooftop, Mas. Dari sana, Arum bilang ke Hanna kalau dia berdosa, Hanna berdosa dan semua orang berdosa. Terus Arum ngancam Hanna untuk ngirim foto ciuman Hanna sama Kak Alvin ke orang tua Hanna. Arum ditampar Hanna setelah bilang kaya gitu."

"B-bagaimana dengan Arum sekarang?"

"Belum selesai ceritanya, Mas." Keluh Abizar. "Terus... Arum nampar Hanna lebih keras sampai hidung Hanna berdarah. Ah, serem banget pokoknya, Mas. Abizar gak nyangka Arum bisa seberani itu."

"Sekarang Arum di mana? Di rooftop?"

"Mas, astaga... Bizar belum selesai loh," protes Abizar yang mulai kesal dengan ketidaksabaran Abipraya. "Arum itu misterius banget, Mas. Dia tahu sisi gelap setiap mahasiswa dan mahasiswi di kelas. Entah dia stalker atau bagaimana... yang pasti dia bener-bener tau bagaimana anak-anak di kelas bertingkah. Bahkan sebelum Arum keluar dari kelas tadi, Arum ngancam anak-anak untuk membeberkan keburukan mereka semua. Tapi Arum tidak mau melakukannya. Lagi-lagi ia bilang kalau kita semua adalah pendosa yang sedang berada di neraka. Bizar ga paham dia ngomong apa, Mas."

Abipraya terhanyut dalam pemikirannya. Cukup lama ia melamun lalu ia bertanya kembali, "Kamu udah selesai ceritanya?"

"Tapi anehnya Arum gak berapi-api, Mas. Dia bertengkar sama Hanna pun dengan tenang dan datar. Tapi ucapan-ucapannya jleb banget gitu, Mas." Ucap Abizar. "Wah... Arum keren banget sih menurut Bizar, Mas. Kalo Bizar jadi dia, pasti udah ngamuk-ngamuk ga jelas. Udah kaya kerasukan setan mungkin."

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang