DUA PULUH SEMBILAN

139 6 0
                                    

"Di antara keindahan langit malam ini, gemerlap lampu kota, dan gemercik hujan yang mendinginkan malam, kedua mataku malah memilih untuk tenggelam dalam gelap mata kamu itu!"

DALAM gemercik hujan yang dingin, kedua tangan kecil Arum saling bergosokan untuk menciptakan kehangatan. Arum merogoh sebungkus rokok dari dalam tasnya. Seketika, dentang kaca terdengar ketika seluruh isi tas Arum bersinggungan satu sama lain. Arum menarik sebatang rokok dan menyulutnya.

Malam ini terasa lebih dingin karena hujan baru saja reda setelah beberapa hari tidak turun hujan. Arum terduduk di sofa usang yang dibuang di rooftop ruko selebar 4x5 milik Inka. Inka mengizinkan Arum untuk memiliki kunci cadangan rooftop.

Arum hanya berbalut jaket hangat andalannya yang tidak terlalu hangat, celana cargo bekas, sepatu andalan pemberian Abipraya, dan syal bekas yang membaluti lehernya yang dingin dan gemetar.

Diisapnya rokok itu hingga kepulan asapnya menyongsong udara. Arum merilekskan tubuhnya di sofa sembari membenahi syalnya. Ia kemudian merogoh gawai dari tasnya dan lekas mengecek apakah ada pesan atau panggilan tak terjawab.

4 unread messages
3 missed voice calls

Pak Abi, ucapnya dalam hati—mengeluhkan Abipraya yang sepertinya masih belum mengerti bahwa Arum ingin menjauhi dirinya. Tak pernah ia bayangkan ia menginterupsi hubungan orang lain. Terlebih lagi, jatuh hati pada dosennya sendiri. Mengerikan, lanjutnya dalam hati.

Hingga detik ini, Arum tidak mau membalas pesan singkat dari Abipraya.

Arum berdehem membersihkan tenggorokan. Tangan kecilnya mengeluarkan satu botol berukuran sedang berisi anggur putih dari dalam tasnya. Arum membuka tutup botolnya dan lekas menenggak isinya. Setelah beberapa menit kemudian, pandangannya mulai kabur. Napasnya tenang, tak serusuh angin yang membawa hujan tadi.

Arum menyesap lagi rokoknya. Perlu lima belas menit lamanya untuk Arum menghabiskan anggur putih itu. Seketika, seluruh tubuhnya terasa santai seolah mereka sedang beristirahat dan berhenti sejenak untuk berfungsi. Arum memejamkan matanya dan menikmati dinginnya malam.

"Arum?"

Suara itu menggema dalam telinganya, bersamaan dengan suara pintu rooftop yang terbuka keras.

"Arum?"

Suara itu semakin mendekat tapi ia terasa seperti mimpi baginya. Namun seiring waktu, mimpi itu terasa semakin nyata hingga terasa sampai ujung kakinya—menghantarkan desiran lirih yang membuat hatinya menghangat dan berdebar.

"Arum? Kamu sedang apa?"

Arum yang terlentang di atas sofa terkekeh-kekeh dengan tiba-tiba seperti orang setengah waras. "Berisik, Abipraya." Bisiknya lirih sekali—seraya mengusap-usap hidungnya yang berair karena udara dingin. Matanya masih terpejam rekat.

Abipraya berjalan menghampiri Arum dengan melindungi kepalanya dari sisa hujan menggunakan tasnya. Pria itu harus sedikit membungkuk karena bagian kanopi terluar yang menjaga Arum dari hujan tingginya tidak melebihi tinggi Abipraya yang setinggi 180cm.

Setelah ia berhasil melewati kanopi terluar, Abipraya bisa berdiri normal karena semakin dalam, kanopi tersebut semakin tinggi—dalam kata lain, sengaja dibuat miring agar aliran air cepat turun ke bawah.

Rokok Arum sudah habis, sama seperti kesabaran Abipraya malam itu.

"Kenapa kamu tidak angkat telepon saya?" Tanya Abipraya tegas. Sungguh jelas bahwa ia marah karena Arum mengabaikannya. Jelas-jelas pria itu khawatir.

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang