EMPAT PULUH ENAM

79 7 2
                                    

ARUM menangis, mengucurkan airmata sebanyak-banyaknya. Butuh beberapa detik sebelum Arum melanjutkan perkataannya, menunggu hingga tenggorokannya sudah tak sakit lagi. "Pada akhirnya, hanya dengan minum saya bisa menenangkan hati. Setidaknya, melupakan apa yang saya alami walaupun sekejap. Ketika Ayah memukuli Ibu, tidak ada satupun yang bisa menenangkan kecuali dengan minum sampai menangis dan tertidur. Ketika kakak laki-laki saya mencaci-maki pilihan saya untuk melanjutkan kuliah, ketika kekecewaan melanda saya karena kakak perempuan saya menolak untuk menerima kami di rumahnya, ketika dua orang penagih utang mengobrak-abrik rumah ketika saya sendirian, lalu mereka... melecehkan saya... tidak ada... tidak ada... yang bisa meyakinkan saya bahwa saya akan... tetap baik-baik saja." Tutur Arum panjang lebar, menghantarkan jutaan tusukan ke dalam dada Abipraya ketika mendengarnya. "Ketika minum, saya menjadi tenang dan cenderung menjadi jujur seperti kata orang... kemudian, saya meyakinkan diri bahwa sejujurnya saya ingin melanjutkan hidup."

Arum menghapus seluruh airmatanya menggunakan kerah baju kaosnya seraya menahan sesegukan. "Jadi, jangan pernah sekalipun... menyamakan ini karena kita begitu berbeda, Pak Abi. Kehidupan kita, begitu berbeda."

Abipraya langsung dirundung rasa penyesalan yang begitu besar. Mulutnya terbuka, rasa ingin menyampaikan bahwa Arum salah paham, namun yang dapat ia lakukan saat itu hanyalah diam seribu kata. Wajah Abipraya berkerut, sedih, dan gusar.

Airmatanya berkumpul, membuat pandangannya buram dan tak jelas. Hatinya berdenyut, sakit sekali seakan hatinya berlubang-lubang dan semua lubang itu semakin menyempit menghantarkan kelinuan yang membuatnya terlalu sakit bahkan untuk menghela napas.

Mendengarkan lagi fakta bahwa Arum banyak menerima pengalaman tak mengenakkan, begitu menyesakkan hati pria itu. Apalagi ketika mendengar bahwa Arum pernah menjadi korban pelecehan. Kabar itu tidak pernah Abipraya dengar sebelumnya, dan itu sangat mengundang gejolak amarah yang besar dari dirinya.

Abipraya, kedua tinjunya mengepal keras, namun pada akhirnya, ia mengucurkan airmatanya. Segera, ia membuang muka ke arah lain, tak ingin menampakkan wajah sedihnya pada Arum.

"Saya. . . hanya mau melihat Ibu bahagia. Bisa berjalan, bisa tertawa lepas lagi." Arum memukul dan meremas kepalanya sendiri dengan penuh frustrasi sembari masih menangis.

Pemandangan itu begitu sulit disaksikan oleh Abipraya. Pria yang terkenal penuh wibawa itu akhirnya terlihat seperti manusia utuh, menangis, tanpa topeng perlawanan apapun.

"Saya sadar bahwa saya sudah begitu banyak menyusahkan orang-orang di sekitar saya, termasuk Pak Abi. . . maafkan saya atas perkataan saya sebelumnya yang tidak pantas untuk diucapkan. . . sama sekali."

Arum meraih botol minumannya yang sisa setengah. Ditenggaknya air itu hingga tandas. Abipraya ingin merebut botol itu dari Arum. Namun, tangannya seperti terasa kaku hingga tidak bisa melakukannya.

Pada akhirnya, Arum tersungkur dengan posisi bertumpu pada lutut dan telapak tangan di atas lantai coran. Botol kaca minumannya ikut jatuh terpecah-belah hampir menyakiti tangan Arum jika tidak sesegera mungkin dihindari.

Sembari duduk tersungkur, Arum merasakan kepalanya yang semakin berputar-putar. Tangisannya semakin dalam dan semakin tak bersuara. Airmatanya membanjiri wajah dan membuat wajahnya sembab dan lengket. Momen itu mengingatkan Abipraya ketika Arum tanpa sadar menyatakan perasaannya sewaktu mabuk, di tempat yang sama, di sana.

"Saya ingin pergi dengan Ibu. Pergi sejauh mungkin. . ."

"Jangan bicara seperti itu." Kata Abipraya yang masih berdiri, memperhatikan Arum yang kini terduduk pasrah di atas lantai coran rooftop. Abipraya tahu maksud dari ucapan Arum.

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang