EMPAT PULUH EMPAT

83 10 2
                                    

SETELAH menerima penjelasan panjang lebar dari istrinya melalui pesan teks, amarah Abipraya semakin menjadi-jadi. Isabella menguraikan fakta-fakta secara kronologis bagaimana dirinya masih saja terlibat dalam hubungan bersama pria bernama Roy.

Istrinya itu mengaku bahwa Roy mengancam dirinya untuk menyebarkan s*xtape mereka. Membaca kabar itu, Abipraya kehilangan akalnya. Alih-alih meluapkan amarahnya dengan melayangkan pukulannya ke apapun itu di sekitarnya, Abipraya memilih untuk berdiam diri, merenung serta merefleksikan kehidupan asmaranya dengan penuh kekecewaan.

Ia tidak menyangka bahwa perselingkuhan Isabella dan Roy sudah berjalan sangat jauh. Bahkan, Abipraya berpikir buruk dan mengira-ngira bahwa sulitnya Isabella untuk mengandung buah cinta mereka adalah karena Isabella mengonsumsi pil kontrasepsi demi menghindari kehamilan bersama Roy. Abipraya dipenuhi oleh kegelapan yang begitu memekakkan hatinya.

Sekarang, Abipraya sedang berada di kamarnya yang kini menjadi kamar khusus tamu. Sudah sejak malam minggu kemarin Abipraya menginap dan berdiam diri di kamar itu. Sebentar lagi, Abipraya harus pergi untuk mengajar. Ia tak tahu harus menghadapi harinya dan sisa hidupnya dengan cara seperti apa.

Bayangkan saja, seseorang yang kamu percayai untuk menghabiskan sisa hidup bersama, ternyata menghabiskan sisa hidupnya bersama orang lain, di belakangmu. Merasa tak dihargai, merasa dihina, merasa kecil, merasa tak dicintai, itulah yang Abipraya rasakan detik ini. Sudah cukup sabar baginya untuk tidak bereaksi secara kasar terhadap Isabella. Namun, semakin hari, Isabella semakin berbuat seenaknya. Seolah tak ada secercah kebaikan yang tersisa dalam hati perempuan itu.

Suara ketukan pintu terdengar pelan. "Mas, sudah siap sarapannya. Yuk." Inka terdengar dari luar kamar, mengajak abangnya untuk melahap sarapan.

Abipraya hanya duduk di sana, di tepian tempat tidur, tak berkutik satu mili pun. Pandangannya begitu kosong menatapi kusen jendela. Matanya berlinang, namun airmatanya sudah kering, seperti sumber air yang begitu dalam yang terkubur di panasnya gurun.

Kali ini, Inka menggedor pintu dengan buru-buru. "Mas, ayo. Kita bisa telat ke kampus."

Kegelapan semakin menguasai pikiran Abipraya. Semakin lama, kegelapan dan kelinuan yang ia rasakan di dalam hati dan pikirannya, mulai merebak ke pandangan matanya. Begitu berat beban yang kini sedang dipikulnya. Napasnya mulai terasa menyesakkan dada, sempit dan sakit rasanya untuk menghela napas. Matanya semakin berat, berat, dan berat. Kepalanya serasa terangkat seringan kapas di udara. Pada akhirnya, dua menit kemudian, Abipraya terjatuh ke belakang, tubuhnya terkapar di atas tempat tidur.

Clek. Inka membuka pintu dan mendapati Abipraya tertidur.

"Ya Allah, Mas Abi." Inka berjalan mendekati. "Mas... Mas Abi."" Ucap Inka yang mencoba membangunkan Abipraya, menggoyangkan bahunya. Perempuan itu bahkan belum sadar bahwa Abipraya sedang pingsan.

Tak kunjung menunjukkan kesadaran, Inka mulai resah. "Mas Abi?" Kedua alisnya bertautan. "Mas Abi?!"

Tak mau membuat panik seisi rumah, Inka membenahi posisi Abipraya dan mencoba menepuk-nepuk pipi abangnya. Inka meluruskan kedua kaki Abipraya seraya memijatnya, kemudian mengatur dua buah bantal tidur agar menumpuk hingga cukup tinggi untuk kemudian menempatkan kaki Abipraya di sana. Inka juga melonggarkan sabuk yang dikenakan Abipraya.

Beberapa detik Inka menunggu dengan sabar seraya memijat tangan Abipraya dengan penuh perhatian, abangnya itu akhirnya membuka kembali matanya. Tiupan napas penuh rasa lega dihembuskan Inka sembari mengusap-usap dadanya.

"Tunggu di sini, Inka ambilkan minum dulu. Jangan banyak bergerak." Kata Inka sembari bergegas untuk membawakan minum.

Beberapa menit berselang, Inka kembali dengan teko berisi air putih. "Ini minum dulu air putih." Inka menuangkan air putih pada gelas dan memberikannya pada Abipraya.

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang