TIGA PULUH DELAPAN

160 6 1
                                    

ABIPRAYA berdehem pelan sebelum akhirnya memberanikan diri untuk meminjam korek gas pada Abizar. "Zar, ada korek?"

Mata Abizar membelalak, mulutnya menganga terbuka. Abizar kaget setengah mati karena ia tahu kalau kakaknya itu sudah lama berhenti merokok. Mata Abizar melotot seolah bertanya apakah Abipraya bersungguh-sungguh.

Abipraya menoleh dengan tatapan kosong dan datar. "Sekali ini aja, kok. Jangan ngadu ke Mbak Bella dan Mbak Inka, ya. Awas aja kalo kamu cepu."

Abizar akhirnya merogoh korek gas di celananya dan lekas memberikannya ke Abipraya. "Ini."

Abipraya lekas menyulut sebatang tembakau di tangannya. Jemarinya sedikit bergetar. Entah apa yang sedang mengganggu pikirannya, namun Abizar tahu bahwa Abipraya sedang tidak baik-baik saja.

Abizar melahirkan ide untuk memancing kakaknya itu supaya mereka bisa berbincang untuk sekedar meringankan beban di pundak dan pikiran mereka.

"Menurut Mas Abi, perempuan yang baik itu seperti apa?"

Abipraya menanamkan kedua sikutnya di atas tembok balkon di lantai dua rumah ibunya. Di dalam lantai yang sama dengan balkon itu, terlihat ada Inka, Arum, Richard, Patrick, dan Thalia yang masih asyik bermain monopoli di ruang keluarga yang dibatasi oleh dinding kaca yang membentang sepanjang ruangan.

Abipraya menangkap gemerlap lampu kota berwarna biru dari sebuah restoran di sudut kota yang terlihat dari atas balkon. Abipraya menghirup kepulan asap kelabu dan meniupkannya perlahan. Saat itu juga, aroma rempah cengkih dan tembakau menguasai udara malam.

"Lihat ibu... lihat Mbak Inka, Mbak Bella, mereka adalah perempuan-perempuan yang baik. Kasih mereka terasa juga kan sama kamu? Siapa yang setrika baju-baju kuliah kamu? Mbak Inka? Siapa yang siapkan makan kamu? Ibu?"

"Iya..." Kata Abizar, tanda setuju.

"Tidak ada yang bisa mengalahkan perempuan dalam urusan mengasihi dan merawat. Itu sebabnya Mas sebagai laki-laki masih belum sempurna dalam urusan membahagiakan perempuan-perempuan penting ini. Bagi mereka, merawat orang yang disayangi itu sudah seperti insting."

Abizar menghisap rokoknya. "Kalau Arum... bagaimana menurut Mas Abi?" Abizar memperhatikan deru napas Abipraya yang terlihat semakin tenang. Tarikan napas di dadanya semakin melamban dan makin dalam.

"Kalau kamu cukup beruntung, kamu nanti bisa merasakan kepedulian Arum yang sangat besar terhadap orang lain." Abipraya tersenyum seraya menghela napas panjangnya. "Lihat bagaimana dia mengorbankan segalanya untuk ibunya. Kakak laki-lakinya tidak akan pernah mampu merawat ibu mereka seperti Arum."

"Mas Abi udah merasakan kepedulian dari Arum?" Tanya Abizar tanpa rasa malu atau segan sedikit pun.

Abipraya melirikkan matanya pada adiknya itu. Sempat bertatapan tajam dengan Abizar, akhirnya Abipraya memberikan jawabannya pada pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.

"Dia membelikan tas untuk Mas dengan dalih kalau dia gak suka lihat orang ribet bawa dua tas." Terang Abipraya menjelaskan. "Meskipun tas bekas, poinnya ada di fakta bahwa dia akan selalu membalas kebaikan dari orang lain."

"Hmm... menarik juga ya dia." Kata Abizar yang kembali menyesap rokoknya.

"Coba saja kasih dia makanan, apa saja. Dan lihat saja nanti hasilnya." Kata Abipraya.

"Dia bakalan kasih apa kalau kita traktir dia makan?" Tanya Abizar yang benar-benar penasaran.

"Kalau kamu belikan dia nasi uduk, dia sepertinya bakal traktir kamu nasi padang." Kenang Abipraya seraya tak menyadari bahwa ada senyuman di balik matanya yang murung. "Mas belikan sepatu, dia belikan tas."

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang