DUA PULUH SATU

142 6 0
                                    

ABIZAR diam tak berkutik ketika beberapa temannya mempertanyakan dan khawatir tentang beberapa luka di wajah Abipraya, dosen mereka. Untungnya, Abipraya cukup cerdas untuk menciptakan skenario palsu dan mengaku bahwa ia mulai mengikuti kelas tinju untuk mengisi waktu senggangnya.

"Pak Abi kok random sekali tiba-tiba ikut kelas tinju? Haus akan keributan ya, Pak?" Canda Pak Willy.

"Iya nih, Pak. Memang random sekali. Bapak berniat jadi teman latihan saya, Pak? Atau jadi samsak-nya mungkin?" Canda Abipraya.

Para mahasiwa kemudian terkekeh-kekeh bersama sambil menggelengkan kepala, hampir tak menyangka bahwa Abipraya bisa berguyon. Tak lama dari itu, Abizar mendengar suara ding bel meja pertanda makanan yang mereka pesan sudah siap. Abizar kemudian meminta salah satu temannya untuk membantunya membawakan makanan yang sudah siap disajikan.

Jarang sekali Abipraya dan Pak Willy bisa berkumpul dengan para mahasiswa di satu meja yang sama dan bertingkah layaknya teman. Momen itu langka karena biasanya Abipraya hanya mau duduk dengan adiknya saja di kafetaria kampus dan juga momen langka karena Pak Willy biasanya memilih untuk makan siang di restoran di luar kampus.

Selagi menunggu makanan datang, Abipraya mengecek ponselnya untuk melihat kalau-kalau ada pesan masuk. Ditemukannya satu pesan dari adik perempuannya, Inka.

12.13PM
Adikku Inka
Mas, aku lagi mau makan di kafetaria bareng Arum. Mas sama Bizar mau makan bareng?

Ada perasaan yang asing merebak di dalam hatinya. Ia merasa bahagia namun juga gelisah. Abipraya bahagia melihat fakta bahwa Arum kini sudah mau bergaul. Dan ia gelisah karena ia sebenarnya ingin sekali bergabung dan bertemu dengan Inka dan Arum. Akan tetapi, keadaannya yang sedang "tak baik" dikhawatirkan akan membuat Inka dan Arum curiga. Apalagi ini semua berkaitan dengan keluarga Arum.

Di sisi lain, Arum dan Inka tengah mengedarkan pandangan mereka mencari meja kosong yang belum terisi oleh mahasiswa yang kelaparan. Arum dan Abipraya, mata mereka bertemu dalam jarak tiga meter di antara mereka. Ayunan langkah Arum terhenti membuat Inka juga menyadari bahwa Abipraya ada di sana. Abipraya berada di satu ujung dan Arum berada di ujung lainnya. Inka mendelikkan matanya kesal seraya menyunggingkan senyumnya. Abipraya mengunci pandangan wajahnya pada Inka dan Arum dengan gurat rasa bersalah di parasnya yang manis.

"Pantes aja WhatsApp-ku gak dibalas." Gerutu Inka. "Ternyata sudah kumpul dengan konconya."

Arum memalingkan wajahnya dari pandangan Abipraya. "Mbak, mau makan apa?" Tanya Arum mengalihkan pembicaraan.

Inka mendengus kesal. Sembari mengajak Arum untuk kembali berjalan. "Sudah bikin khawatir, bikin kesal pula. Dasar lelaki."

Arum terkekeh kecil berjalan di samping Inka seraya melihat Inka yang cemberut. "Mbak, Pak Abi sepertinya takut sekali sama Mbak Inka."

"Dia enggak takut sama aku. Aku yang malah takut sama dosen kamu itu." Inka tertawa mencoba meluruskan asumsi Arum.

"Memangnya kenapa, Mbak?"

"Aku takut karena dia enggak banyak ngomong, Rum. Kalo ada apa-apa pasti dipendam sendiri. Paling gak banyak ngomong tapi banyak bikin orang khawatir." Terang Inka. "Dia enggak galak tapi sekalinya marah, orang-orang bakalan takut walau cuma mau ajak ngobrol. Beda lagi sama si Abizar. Anak itu meskipun katanya preman di kampus, dia sebenernya enggak sekeren itu di rumah."

Arum terkekeh mendengar komentar Inka tentang Abizar. Mendengar pernyataan-pernyataan Inka tentang Abipraya membuat Arum merasa semakin mengenal Abipraya sedikit demi sedikit.

"Pak Abi enggak pernah marah di kelas, Mbak." Tutur Arum. "Kalaupun marah, pasti diekspresikan dalam hal lain. Misalnya kasih tugas yang lebih banyak sampai rasanya hampir mustahil buat selesai."

"Sabar, ya. Semoga nanti tugas akhir kamu bukan Pak Abi dosen pembimbingnya." Inka berguyon disusul tawa lembut Arum.

.
.
.

Pintu lift terbuka. Derap langkah Arum berirama menuju rooftop tempat ia menyendiri dan berkontemplasi. Perempuan itu baru menerima kabar bahwa Abipraya meminjam kunci pada Agus untuk bisa mengakses rooftop. Arum berjalan dengan ayunan langkah tenang dan pelan. Sore itu, di lantai tersebut cukup ramai orang. Arum berusaha untuk berperilaku se-familiar mungkin dengan sekitarnya.

Ia merogoh ponsel dari saku celananya dan segera menulis pesan untuk Abipraya.

15.42 PM
Mhs. Arum
Pak Abi, tolong buka pintunya.

Arum menunggu hingga tanda centang dua abu menjadi centang dua biru. Akhirnya Abipraya membalas.

15.42
Dosen Bpk. Abipraya
Sebentar, Rum.

Arum pergi mengakses area tangga darurat yang menghubungkan ruangan utama dengan bagian belakang rooftop. Di sana sangat sepi. Tapi hatinya ramai mengetahui ia akan segera bertemu dengan Abipraya.

Arum melirik kanan dan kirinya sembari memegang kenop pintu. Dibukanya pintu menuju rooftop dan ditemukannya sosok Abipraya bersandar di batang pohon besar yang tumbuh seiring waktu menabrak sebagian dari batas terluar lantai coran pada rooftop.

"Rum." Sapa Abipraya tanpa menolehkan wajahnya. Ia mengenakan topi baseball hitam.

"Pak Abi." Arum berjalan mendekat dengan perlahan. "Pak Abi baik-baik saja?"

Abipraya menolehkan wajahnya ke arah Arum tapi menolak untuk melakukan kontak mata. "Ah, iya... saya hanya mau cari udara segar aja. Terima kasih sudah bertanya."

Arum, matanya mulai basah berkaca-kaca. "Maafkan saya. Saya sangat menyesal karena sudah melibatkan Pak Abi dalam semua masalah ini." Arum tertunduk lesu dan murung.

Abipraya menolehkan pandangannya seraya menghela napas panjang nan lembut. "Rum... jangan bicara seperti itu. Saya hanya ingin kamu dan ibu kamu aman. Kita berbagi pengalaman yang sama. Mana mungkin saya bisa membiarkan kamu melewatinya sendirian. Apalagi kamu ini perempuan."

Mereka beradu pandang, bertatapan dalam diam. Menyadari bahwa momen itu membuat jantungnya balapan, Abipraya mengedarkan pandangannya kikuk. Arum pun menundukkan pandangannya, menembakkan sorot matanya pada coran rooftop berwarna abu itu.

"Tangannya ringan sekali. Abang kamu bisa membahayakan orang. Dia sangat mudah tersulut emosinya. Juga mudah sekali tersulut untuk menyerang secara fisik." Tutur Abipraya. Sedikitnya, ia mencoba memancing Arum untuk bercerita lebih jauh mengenai Hendri, abangnya.

"Ya... saya tahu." Jawab Arum singkat nan lirih.

Abipraya memerlukan waktu untuk merespon Arum. Hatinya tertusuk dan sesak ketika mengingat kembali lebam-lebam yang pernah Arum miliki di wajah imutnya. Abipraya sudah menduga-duga sejak awal bahwa Hendri-lah pelakunya. Rahang Abipraya mengetat, pria itu berusaha untuk mengendalikan diri.

"Seberapa sering dia melakukan itu, Rum? Apakah ayah kamu juga demikian?" Abipraya merasakan dadanya memanas dibakar amarah.

Arum masih tertunduk, merasa sedikit terintimidasi oleh pertanyaan Abipraya. Arum membuka mulutnya perlahan untuk mengucapkan sesuatu. "Ya." Lirihnya.

Abipraya tak kuasa menahan rasa sedihnya. Hampir saja sebulir air mata menetes meruntuhkan benteng pertahanannya yang sudah rapuh. Sisanya, hanya ada keheningan yang mengambil alih. Arum terisak pelan, pertanyaan Abipraya membuatnya sedih dan mengingat kembali masa-masa terpuruknya. Pun Abipraya yang termenung dipenuhi awan mendung di atas kepalanya. Abipraya sesekali mencuri pandang pada sepatu yang Arum pakai, pemberiannya.

Abipraya hanyut dalam pikirannya. Ia tak menyangka kalau ia akan terlibat sejauh ini dalam kehidupan Arum, mahasiswinya. Terlebih lagi, Abipraya tak menyangka kalau Arum memiliki alur kehidupan yang kurang lebih sama dengannya. Memperjuangkan orang tersayang untuk lepas dari jeratan manusia tanpa adab berkedok keluarga.

"Saya antar kamu pulang." Lirih Abipraya. Pria itu melepas topi yang dipakainya kemudian mengusap rambut secara acak dan memakaikan kembali topi itu.

Arum mengusap hidungnya yang basah, kemudian ia mengangguk mengiyakan ucapan Abipraya.

Tbc
Baru selesai UAS. Senangnyaaa~ Saatnya memasuki Tugas Akhir 😶‍🌫️

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang