DUA BELAS

153 7 0
                                    

ABIPRAYA sampai di lahan parkir pasar barang bekas yang tidak terlalu luas. Tukang parkir tidak memakai rompi oranye-nya atau hijau stabilo-nya. Ia hanya seorang anak remaja yang mencari uang jajan lebih untuk beli rokok, mungkin saja. Abipraya melepaskan helm dan menautkannya di kaca spion motor. Ia pergi untuk menemui Arum dengan meminjam sepeda motor milik Abizar. Selepas menyiapkan diri, Abipraya bergegas memasuki pasar dan berjalan mencari-cari lapak di mana Arum bekerja.

Abipraya mendengus, ia tak nyaman dengan bau yang menguar dari lapak-lapak baju bekas. Abipraya menggesek area bawah hidungnya dan mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah, tak tahan dengan bau apeknya. Untuk sekian detik ia menyesali diri karena tidak terpikirkan untuk memakai masker. Sembari berjalan, matanya memindai dengan seksama. Pandangannya bergantian dengan melihat detail lengkap lapak yang dikirimkan Arum beserta foto penampakkan lapaknya.

Akhirnya, setelah beberapa blok, Abipraya berhasil menemukan Arum. Sebelum ia menemui Arum, Abipraya terdiam dengan tubuh jangkungnya. Pria itu memandangi Arum yang membelakanginya. Arum masih bertransaksi, mungkin dengan pelanggan terakhir karena toko-toko di sebelahnya sudah mulai tutup. Setelah membungkus pakaian dan memberikannya pada pelanggan, Arum menerima uang dari pelanggan tersebut.

Abipraya berjalan mendekati lapak Arum. "Arum."

Arum membalikkan tubuhnya. "Pak Abi." Ucapnya datar. Arum berjalan lambat-lambat menghampiri Abipraya. "Kenapa repot-repot mencari ke sini? Padahal saya bisa ke depan."

Abipraya tersenyum samar. "Tidak apa-apa, saya mau tahu tempat kerja kamu. Itu saja."

Arum menunduk memperhatikan kedua kaki jenjang Abipraya. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu, yang jelas ada jeda yang tak bisa dijelaskan.

"Kalau begitu, saya pamit dulu ke yang lain. Pak Abi bisa menunggu sebentar?" Arum mendongak, wajahnya beradu pandang dengan Abipraya yang jauh lebih tinggi darinya.

"Ya." Kata Abipraya singkat bersamaan dengan anggukan kecilnya.

Ada sebuah kelegaan dalam hati Abipraya ketika melihat Arum berbaur dengan orang lain. Arum bahkan bisa tertawa, meskipun tidak sepenuhnya tertawa. Abipraya menyadari kalau Arum adalah perempuan sederhana yang lupa bagaimana untuk bahagia.

"Mari, Pak Abi." Kata Arum seraya mengajak Abipraya berjalan.

"Rum," kata Abipraya pelan. "Saya mau meluruskan semuanya."

"Pak Abi, tidak baik membicarakan itu di sini." Ucap Arum setengah berbisik.

"Tidak, bukan soal saya. Ini soal... kamu."

Arum menolehkan wajahnya setengah mendongak untuk dapat melihat ke wajah Abipraya. "Ada apa, Pak Abi?"

"Kamu sudah... ikhlas?"

Abipraya dan Arum beradu pandang di tengah perjalanan mereka. Setelah itu mereka kembali mengalihkan pandangan pada jalan.

"Tentu saja." Arum dengan mantap menjawab pertanyaan Abipraya.

.
.
.

Arum dan Abipraya menarik kursi plastiknya masing-masing dan menjatuhkan tubuh mereka hingga terduduk nyaman. Arum melambaikan tangannya singkat memberi tanda ingin memesan makanan pada pelayan. Pandangan Abipraya masih membatu pada meja tempat makan sederhana itu. Cerita dari adiknya masih membayangi pikirannya. Lama kelamaan cerita itu menghantuinya.

"Pak Abi? Mau pesan apa?" tanya Arum tanpa mengagetkan Abipraya dari lamunannya.

Abipraya menarik selembar menu yang diberikan Arum. Matanya bermain-main ke sana ke mari mencari menu yang ia pikir paling pas untuk dimakan sebagai pria kelaparan.

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang