MALAM semakin dingin, Arum menghabiskan sisa malam di rooftop tempatnya bekerja tanpa mengetahui bahwa Abipraya menyusul dirinya. Saat itu, kantor sudah sepi. Hanya ada Arum, Inka, Patrick, dan dua orang karyawan lain yang bekerja lembur. Ketika Abipraya berhasil menemui Arum di rooftop itu, Abipraya mencium bau alkohol yang cukup kuat dan cukup menusuk hidungnya. Ekspresi kesal dan kecewa dari Abipraya pun terpasang dengan jelas.
Ketika sadar bahwa ada seseorang selain dirinya, Arum membalikkan badannya dan mendapati Abipraya di sana.
"Arum..." Abipraya berjalan lambat-lambat menghampiri Arum. "Saya ingin bicara sebentar. "Shift kamu sudah selesai, kan?"
Arum kembali membalikkan tubuhnya untuk memandangi gemerlap lampu kota di malam hari. Ia menghisap rokoknya sekali lagi sebelum berkata, "Maaf. Sebentar lagi saya akan pulang, Pak Abi. Saya tidak punya waktu."
"Saya ingin meminta maaf." Abipraya berdiri di samping Arum. "Kamu berkenan mendengarkan, Rum?"
Arum mendelikkan matanya. Meskipun pandangannya sudah mulai kabur dan kepalanya berputar-putar, Arum tetap menjawab dengan ketus, "Baiklah, saya tidak punya pilihan."
Abipraya menunduk sejenak, merasa bersalah. "Maaf... saya sudah membuat kamu terlibat dalam drama yang tidak perlu tadi. Saya menyesal."
Dihisapnya lagi sebatang rokok yang tinggal setengah. "Saya... sebenarnya tahu bahwa Bu Isabella dan Pak Roy masih berhubungan. Tapi, saya tidak sampai hati untuk mengabari Pak Abi soal itu. Beberapa hari lalu, saya memergoki mereka makan siang bersama."
"Ya, terima kasih sudah memberitahukan kabar itu. Tapi, itu sudah tidak penting." Lirih Abipraya seraya memicingkan matanya menikmati lampu-lampu kota yang sebagian terang-benderang dan sebagian lagi temaram.
Abipraya meraih rokoknya yang ia simpan di dalam saku celana, kemudian mengambil sebatang lalu menyalakannya dan bergabung untuk merokok bersama dengan Arum.
"Itu semua sudah tidak penting." Lirih Abipraya mengulangi perkataannya. Kepulan asap kelabu beradu dengan udara malam yang biru.
Arum diam tanpa kata. Abipraya menoleh ke arah Arum sambil bertanya-tanya apa yang tengah Arum pikirkan tentang dirinya, tentang Isabella, tentang kehidupannya sendiri, tentang apapun itu.
"Pak Abi... saya ingin menyudahi semua ini. Seluruh drama ini. Saya sudah lelah, bahkan untuk memikirkan masalah saya sendiri. Saya ingin berhenti kuliah."
"Ingin berhenti kuliah atau... ingin berhenti saya temui seperti sekarang ini?"
"Keduanya." Arum menatap Abipraya dengan intens. Matanya berlinang.
Bibir Arum bergetar menahan emosi yang begitu besar yang hatinya rasakan. Dadanya yang berdenyut berdegup lebih kencang lagi dan lagi. Tenggorokannya begitu sakit dan sudah tak mampu lagi untuk menahan tangis. Sementara itu, Abipraya terlihat terhenyak, begitu terhenyak dengan perkataan Arum.
"Keduanya?" Tanya Abipraya.
"Keduanya." Arum menjawab tanpa keraguan dibarengi dengan anggukan kepala yang samar.
Abipraya dan Arum berpandangan. Abipraya hanya dapat menemukan amarah dan kekecewaan yang begitu besar yang Arum rasakan terhadap dirinya.
"Keduanya..." Lirih Abipraya. "Maafkan karena saya sudah menyulitkan kamu. Seharusnya, saya sadar bahwa kehidupan saya sendiri penuh dengan kecurangan, penghianatan, kekecewaan. Tapi, saya dengan tidak tahu diri ingin membantu kamu menghadapi semuanya. Semua masalah... di dalam kehidupan kamu. Saya memang salah sejak awal. Seharusnya saya mendengarkan kamu."
Arum memalingkan wajahnya. Bulir air mata akhirnya menetes membasahi wajah merah Arum tanpa aba-aba. Isakan samar terdengar oleh Abipraya. Arum mengangkat tangan kanannya, mengusap air mata. Rokok yang tengah dipegangnya mengirimkan asap yang menerobos matanya yang murung, membuatnya semakin pedih.
"Maafkan saya karena saya begitu egois untuk berpikir bahwa saya dapat sedikitnya mewarnai kehidupan kamu. Padahal, kehidupan saya sendiri begitu tak bercahaya." Lirih Abipraya yang matanya juga turut berkaca-kaca. "Terima kasih sudah menyadarkan saya, Rum."
"Pak Abi... besar sekali rasa sakit dan kecewa yang saya rasakan ketika melihat Pak Abi diperlakukan dan dipermainkan sedemikian buruk oleh Bu Isabella. Saya tahu Pak Abi adalah orang baik yang penuh kasih. Tapi, begitu salah jika Pak Abi menyelesaikan ini semua dengan kekerasan seperti tadi siang."
Abipraya menunduk, begitu lama sampai Arum harus mengatakan sesuatu lagi sebelum Abipraya mampu melanjutkan pembicaraan.
"Kekerasan seperti siang tadi tidak akan menjadi solusi yang baik." Lirih Arum, kembali memandangi pemandangan kota di malam hari.
"Itu solusi terbaik." Kata Abipraya.
"Bukan, Pak Abi. Tidak semua hal dapat diselesaikan dengan cara seperti tadi." Kata Arum, bersikukuh dengan pendiriannya.
Abipraya memiringkan kepalanya berpikir. "Kamu tidak akan pernah paham apa yang saya rasakan saat ini. Kadang, kekerasan itu perlu. Saya sudah menghitung satu demi satu tindakan saya jadi kamu tidak perlu khawatir."
"Lalu, bagaimana kalau Pak Abi terseret masalah hukum? Apa Pak Abi tidak memikirkan keluarga Pak Abi?"
"Tidak akan, dia tidak akan membawa ini ke ranah hukum. Saya tahu persis bagaimana karakter Roy. Dia itu pecundang. Ini terjadi untuk ketiga kalinya semenjak kami di bangku kuliah. Dia akan tetap mengambil Isabella dari saya meskipun sudah saya beri pelajaran."
"Pak Abi..."
"Arum..." Abipraya menghela napas panjang-panjang. Sebelum melanjutkan kalimatnya, Abipraya mengusap wajahnya dengan penuh rasa frustrasi. "Meminta saya untuk tidak melakukan kekerasan karena kamu pikir itu bukan solusi, sama saja seperti saya menyuruh kamu berhenti untuk meminum alkohol ketika banyak yang sedang kamu pikirkan."
Kedua alis Arum mengkerut gusar. "Itu... dua hal yang berbeda."
"Itu... kedua hal yang mirip. Mereka sama." Kata Abipraya.
"Pak Abi masih punya Mbak Inka, Ibu, dan Abizar untuk membicarakan masalah ini. Setidaknya, mencurahkan semua perasaan Pak Abi kepada mereka. Itu jauh lebih sehat karena saya yakin mereka adalah pendengar yang baik." Arum mendengus. "Bukan malah membandingkannya dengan masalah saya. Itu tidak adil."
"Ini bukan perihal membandingkan, Arum." Kata Abipraya tegas. "Maksud saya-"
"Pak Abi, saya tidak punya siapapun untuk diajak bicara. Kakak-kakak saya, mereka sudah seperti orang asing. Ayah saya, dia sudah tidak waras. Ibu... Pak Abi tahu sendiri bagaimana saya menjaga perasaan dan pikiran Ibu."
Abipraya bergeming, sadar bahwa ucapannya telah menyinggung hati Arum.
Arum menangis, mengucurkan airmata sebanyak-banyaknya. Butuh beberapa detik sebelum Arum melanjutkan perkataannya, menunggu hingga tenggorokannya sudah tak sakit lagi. "Pada akhirnya, hanya dengan minum saya bisa menenangkan hati. Setidaknya, melupakan apa yang saya alami walaupun sekejap. Ketika Ayah memukuli Ibu, tidak ada satupun yang bisa menenangkan kecuali dengan minum sampai menangis dan tertidur. Ketika kakak laki-laki saya mencaci-maki pilihan saya untuk melanjutkan kuliah, ketika kekecewaan melanda saya karena kakak perempuan saya menolak untuk menerima kami di rumahnya, ketika dua orang penagih utang mengobrak-abrik rumah ketika saya sendirian, lalu mereka... melecehkan saya... tidak ada... tidak ada... yang bisa meyakinkan saya bahwa saya akan... tetap baik-baik saja." Tutur Arum panjang lebar, menghantarkan jutaan tusukan ke dalam dada Abipraya ketika mendengarnya. "Ketika minum, saya menjadi tenang dan cenderung menjadi jujur seperti kata orang... kemudian, saya meyakinkan diri bahwa sejujurnya saya ingin melanjutkan hidup."
Arum menghapus seluruh airmatanya menggunakan kerah baju kaosnya seraya menahan sesegukan. "Jadi, jangan pernah sekalipun... menyamakan ini karena kita begitu berbeda, Pak Abi. Kehidupan kita, begitu berbeda."
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Save Your Tears, My Angel
Romance☘️ ON GOING ☘️ Gadis dingin, kasar dan tak acuh pada sekelilingnya terjebak dalam bantuan sang dosen, Abipraya. Abipraya mencari tahu kendala yang Arum lalui selama masa perkuliahan karena Arum terancam didepak dari perkuliahan. Arum tak mau meliba...