EMPAT PULUH SATU

160 8 3
                                    

ARIN mengetuk pintu kontrakan dengan pelan sembari mengucapkan salam. "Assalamualaikum. Ibu, ada di rumah? Ini Arin."

Malam itu, hujan mulai turun. Angin terasa lebih dingin dari hari-hari sebelumnya. Bahkan untuk beranjak dari karpet ruang tengah dan membuka pintu pun terlalu malas bagi Arum.

Perempuan berkerudung hitam dengan fitur wajah yang hampir mirip dengan Arum itu dengan sabar menunggu di depan pintu sambil membawa kantung plastik berwarna hitam mengkilap berisi seikat buah rambutan.

Clek. Pintu terbuka.

"Kak Arin?" Arum dengan spontan merapikan pakaiannya ketika melihat penampilan Arin yang begitu rapi.

"Aku boleh masuk?" Tanya Arin dengan datar.

"B-boleh. Tapi tidak ada sofa buat duduk." Kata Arum. "Di karpet tidak apa-apa?"

Arin memasuki rumah sembari memindai seisi rumah yang sangat sederhana itu. Hanya ada empat perabot yang bisa dilihat oleh mata Arin. Lemari penyimpanan berbahan plastik yang sudah agak reyot, sapu, rak sepatu, dan dispenser air.

Hati Arum sakit melihat gestur tubuh Arin yang seolah tak ingin menginjakkan kaki di rumah kontrakannya. Padahal, rumah tersebut sangat bersih dan cukup wangi terlepas dari kesederhaannya. Karpet dan seluruh perabot pun bersih tanpa cela.

"Ibu di mana?" Tanya Arin yang sekarang telah duduk di atas karpet. Arin mengusap-usap kedua cincin dan gelang emas yang dikenakan di kedua tangannya.

Arum menghela napasnya seraya memandangi motif karpet yang syukurnya, bisa mengobati hatinya. "Ibu ada di rumah yang punya kontrakan."

"Lho? Kok bisa? Memangnya ada apa?" Tanya Arin penasaran sembari membuka kantong plastik dan mengeluarkan seikat rambutan.

"Mau Arum bawakan piring dulu?" Tanya Arum spontan.

"Enggak, gak usah. Bisa pakai kresek ini untuk alas." Kata Arin.

Arum mengangguk tanda paham. "Ibu lagi bantu-bantu masak. Biasanya bantu kupas bawang merah sama bawang putih." Kata Arum menjelaskan.

"Oh, gitu. Apa Ibu dibayar?" Arin mengernyit, mempertemukan kedua alisnya untuk memastikan. "Kalo sampai gak dibayar, agaknya kurang bagus juga sih buat Ibu sendiri."

"Hmm. . . keluarga yang punya kontrakan kebetulan keluarga dosen aku, Kak. Mereka baik sekali. Suka ngasih makanan dan barang juga." Kata Arum meyakinkan Arin bahwa keadaan Ibu mereka baik-baik saja.

"Oh, ya sudah." Lirih Arin. Arin berdehem membersihkan tenggorokannya. "Anu, Rum. . . kamu masih inget gak sewaktu pinjem uang untuk tugas UAS?

Hati Arum tiba-tiba terasa sesak dan berat. Perasaannya tidak enak. "Iya. Kakak lagi butuh uangnya?"

Arin terlihat agak tak enak untuk menagih uang pada adiknya itu. "Ya. Tapi kalau belum ada, gak apa-apa. Bayar aja dulu prioritas kamu. Tagihan semester kamu masih banyak?"

"Lumayan, Kak. Maaf, ya. Arum belum rajin cicil bayarin." Kata Arum merasa sedih dan tak enak hati.

Arum sadar, dewasanya ditandai dengan ruwetnya urusan uang. Rasanya, kalaupun ia mempunyai uang, akan selalu kurang dan kurang untuk kebutuhan ini dan itu.

Bagi Arum dan Arin, sudah tidak ada konsep memberi dan menerima yang seratus persen didasarkan pada kasih sayang. Arum menyadari bahwa Arin mungkin saja ingin memberi. Tapi, kemungkinan besar posisinya sebagai seorang istri yang patuh terlalu menyulitkan Arin untuk berbagi. Memberi untuk ibu mereka pun sulit apa lagi untuk Arum, adiknya, pikir Arum.

"Kamu apa gak mau nikah aja?" Tanya Arin setelah ada sejenak keheningan yang memekakan telinga.

Arum melihat ke wajah Arin dengan rasa tak percaya. Kedua alisnya beradu makin berdekatan, menciptakan kerutan yang sangat intens. "Kak, kalau aku nikah, siapa yang mau rawat ibu?"

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang