LIMA PULUH DUA

78 11 2
                                    

BIMO terdiam sejenak setelah mendengarkan penjelasan logis dari Arum. Harapannya musnah sudah. Arum bukan pilihan tepat baginya yang sudah mengharapkan untuk menikah. Meski begitu, Bimo tetap menghargai keputusan dan keberanian Arum yang telah berterus-terang dan berkata jujur padanya.

Melalui sambungan telepon, keduanya saling berterimakasih dengan penuh mental kedewasaan kepada satu sama lain.

"Rum, apa rencana kamu setelah ini? Kita gak bakalan ketemu lagi ya sepertinya?" Kekehan kecil Bimo terdengar sedikit canggung dan putus asa.

Arum terkekeh sejenak. Ada sedikit perasaan tak enak pada Bimo menyerang hatinya. "Kontak aku kalau kamu ke Bandung ya, Bim."

"Wah, tentunya, dong." Kata Bimo. "Oh, iya, Rum. Masih boleh gak aku tanya sesuatu?"

"Kenapa, Bim?" Arum menggulingkan tubuhnya di atas kasur, berganti posisi untuk menghilangkan pegalnya.

"Apa yang kamu pikir harus aku improve dari diri aku?" Tanya Bimo terang-terangan.

Arum mendengung berpikir. "Hmm. . . kamu bener-bener open kan untuk terima semua input dari aku?"

"Yes! Kita udah open dari tadi, loh!" Bimo terbahak. "Kita udah ngomong ngalor-ngidul dari awal bahkan."

"Well. . ." Arum ikut tertawa bersama Bimo. "Hmm. . . I really hope kamu akan lebih mengutamakan deep connection, bukan tentang seberapa cepat kamu mencapai target yang kamu tentukan dalam memilih atau menemukan pasangan. Itu. . . sudah aku lakukan sendiri sampai saat ini. Jujur saja, aku main app kuning itu hanya untuk menyanggah perasaan yang selama ini aku rawat sampai aku sendiri gak bisa menampung perasaan itu saking overwhelming-nya. Aku mendapatkan deep connection tersebut dengan seseorang ini dan aku masih menunggu apakah pada akhirnya kita akan bersama. Aku terus meyakinkan diri. . . tahan dulu, sehari lagi, sebulan lagi, mungkin setahun lagi. Tunggu saja."

Keduanya terdiam dalam hening saling mencerna kata.

"Pertanyaannya, gimana kita akan tahu kalau dia adalah orangnya. . . that she's or he's the one? Bahwa kita tidak menyia-nyiakan waktu menunggu orang yang salah?" Ada secuil kekecewaan timbul tanpa sengaja dari nada bicara Bimo pada Arum.

"Sad thing is," Kata Arum. "Aku pun gak tahu bagaimana. Yang aku tahu, kalau dia bener-bener dituliskan Tuhan untuk kita, sejauh apapun kamu pergi atau terpisah dari dia, kita akan dipertemukan lagi. . . pada akhirnya. Balik lagi, yang kita bisa lakukan ya hanya ikut dalam skenario Tuhan saja."

"Rum. . . to be honest, aku sebenernya sangat putus asa. Dalam urusan karier, aku baik. Keluarga, sahabat, pertemanan, finansial, semuanya baik. Hanya satu perkara yang menguji aku sejak dulu. . . jodoh." Kata Bimo.

"Aku paham." Lirih Arum mencerna.

"Aku bersyukur loh dengan adanya momen ini, momen kita bertemu lalu kenal. Aku dapat pencerahan banyak dari kamu. Kebanyakan sahabat dan rekan-rekanku, mereka mendorong aku untuk nikah dengan penuh rasa optimis tanpa masukan dan kritikan lain seperti yang kamu lakukan sekarang. Seolah-olah mereka mau aku nikah dengan siapa aja. . . asal pilih. Tapi, sekarang aku tahu. . . mereka melakukan itu karena mereka hanya tidak enak buat ngomong jujur. Entah karena segan atau memang mereka gak peduli sama sekali."

"Iya. . . aku paham." Kata Arum. "Tidak bisa, Bim. Kamu tidak boleh mengharapkan semuanya datang secara spontan, apalagi ini urusan pasangan hidup. Kalau kamu dengan mudahnya mendapatkan seseorang, aku jamin kamu akan mudah juga untuk meninggalkan atau melepaskan orang itu."

"Wah, kayanya. . . meskipun second date kita gak jadi, kita harus ketemu lagi ya sebelum kamu balik Bandung. Gimana?"

Arum tertawa kecil. "Boleh. Kita jadwalkan aja, ya."

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang