ABIPRAYA berjalan menuju kelas. Sesaat sebelum sampai di kelas, Abipraya berpapasan dengan Pak Willy. Pak Willy terlihat agak khawatir dan cemas. Abipraya tak bisa menebak apa yang sedang terjadi dengan Pak Willy.
Abipraya mencoba menyapa Pak Willy, "Halo, Pak Willy."
"Gimana kabarnya Pak Abi?" tanya Pak Willy seraya mengusap kumis tipisnya.
"Baik, Pak. Ada yang bisa saya bantu, Pak? Pak Willy baik-baik saja, kan?"
Pak Willy mengedarkan pandangannya seolah ingin menyembunyikan kecemasannya. Namun sayangnya ia tak bisa. "S-saya dimintai progress tentang Arum, Pak. Maafkan saya, kemarin-kemarin sangat sibuk sekali. Jadi belum bisa bantu Pak Abi."
"Oleh Pak Andang, Pak?"
"Iya, Pak Abi. Siapa lagi kalau bukan Pak Andang. Bu Ghanisa mustahil sekali. Beliau sudah sangat kesal sepertinya." Jelas Pak Willy.
"Padahal tidak apa-apa, Pak. Saya bisa kok menanganinya sendiri. Lagipula, Pak Willy lagi ada seminar di sana-sini kan, Pak. Urusan Arum jangan dipikirkan, Pak Willy. Biar saya saja." Ucap Abipraya mencoba menenangkan Pak Willy.
"Ah, baiklah kalau begitu. Pak Abi ada kelas, ya? Aduh, maafkan saya malah ajak Pak Abi ngobrol seperti ini." Kekeh Pak Willy seraya menepuk bahu Abipraya.
"Tidak apa-apa Pak Willy, santai saja."
"Kalau begitu, mari Pak Abi."
"Mari, Pak... silakan." Abipraya tersenyum kecil, ia kemudian melanjutkan ayunan langkahnya menuju kelas.
Abipraya memasuki kelas, seperti biasa ia membagikan makanan pada mahasiswanya yang belum sempat sarapan. Entah berapa banyak uang yang dikeluarkan Abipraya untuk membelikan sepotong kue yang disinyalir dapat mengganjal perut yang lapar itu. Harganya memang tak seberapa, namun jika dalam satu minggu Abipraya memberikan kue seharga tujuh ribu itu pada tiga sampai lima mahasiswa selama dua hari, maka lumayan besar juga jumlah rupiahnya. Bisa dibelikan nasi padang sebanyak lima sampai tujuh porsi.
Tapi Abipraya tak peduli. Ia sangat gemar berbagi. Lebih dari itu, ia tak mau para mahasiswa mengikuti kelas dengan perut keroncongan hingga tidak bisa fokus pada kuliah.
"Oke teman-teman... sebelum memulai kelas kita, saya mau izin angkat telepon sebentar, ya. Tetap tenang ya, teman-teman." Ucap Pak Abi seraya mengacungkan ponselnya.
Abipraya melenggang keluar kelas. Kenyataan sebenarnya, Abipraya sama sekali tidak sedang menerima panggilan. Ada perasaan aneh yang bersemayam di dalam hatinya. Di dalam kelas ia melihat Arum, menatapi dirinya, melakukan kontak mata dengan Abipraya. Abipraya tak kuasa berada dalam momen itu. Ia sungguh tak percaya bahwa Arum terlihat berbeda; ramah. Abipraya merasa sedang berhalusinasi. Di kelas tadi Arum jelas-jelas tersenyum seraya mengangguk padanya.
Di depan cermin wastafel kamar kecil, Abipraya meratapi dirinya sendiri. Ia mulai bertanya-tanya, mengapa ia repot-repot berbohong kepada semua mahasiswa tentang mengangkat telepon masuk. Abipraya mulai merasa kehilangan kewarasannya. Abipraya memukul kepalanya sendiri dengan pelan seraya berdecak kesal. Ia melihat ke dalam jam tangan, sudah lima menit berlalu. Ia harus cepat kembali ke kelas dan memulai kuliah.
"Maafkan saya, teman-teman... oke, kita coba bahas teori estetika, ya. Gilbert, tolong bantu nyalakan proyektornya, ya."
"Baik, Pak Abi."
"Oke, saya mau coba share beberapa slides, ya. Setelah pembahasan ini, saya mau kalian buat kelompok dua sampai tiga orang karena kita akan ada tugas kelompok selanjutnya." Jelas Abipraya.
Arum yang duduk di pojokan kelas tersenyum samar. Ada perasaan bahagia, bersalah, dan kagum terhadap Abipraya. Arum masih dibayangi oleh keoptimisan Abipraya terhadap dirinya. Arum sendiri tak sengaja menguping pembicaraan Abipraya dengan Pak Willy ketika ia pergi ke kamar kecil tadi sebelum Abipraya memasuki kelas.
Senyuman yang Arum berikan pada Abipraya merupakan senyuman yang terbentuk dari perasaan prihatin, iba, dan kasihan. Setidaknya itu yang Abipraya terjemahkan. Senyuman dan gestur lembut dari Arum, menurutnya, seolah berkata 'Kau kuat, bertahanlah sebentar lagi. Semuanya pasti selesai'.
.
.
.Arum menengok kiri kanannya memastikan tak ada seorang pun yang bisa melihatnya. Ia memasukkan kunci dan memutarnya. Terbukalah pintu menuju rooftop. Beruntung, seperti biasanya. Hanya ada dia dan hembusan angin di sana. Mungkin ditemani beberapa rongsokan yang ditimbun di tempat yang agak terpencil di area rooftop. Arum menutup pintu seraya menghela napasnya. Setelah itu ia mengunci kembali pintunya, berjaga-jaga agar tak ada orang yang masuk tanpa sepengetahuannya. Ia berjalan seraya memasukan kunci ke dalam sakunya.
Wajah Abipraya yang lelah membayanginya. Arum masih tak percaya, setelah sekian lama hatinya mati. Ia merasakan percikan kepedulian yang telah lama hilang dari jiwanya. Tentunya selain kepeduliannya pada sang ibu.
Arum berdiri mematung seraya memejamkan matanya. Kehadirannya di rooftop tak akan disadari orang-orang. Syukurlah ada pohon rimbun yang membuat tubuh kecilnya tetap terselubung. Ia mencari sandaran tak seperti biasanya. Ia berjalan menuju batang pohon yang begitu besar yang hampir saja meretakkan batas bangunan rooftop itu. Arum menjatuhkan punggungnya di pohon tersebut seraya melepaskan tas dari punggungnya. Arum merogoh sebatang rokoknya, menyulutnya, mengisapnya. Kepulan asap abu yang tipis keluar dari mulut dan hidungnya.
Kenapa dia begitu ceroboh, pikir Arum dalam hatinya. Bisa sampai tidak sadar kalau kehidupan pernikahannya jadi konsumsi orang lain.
Telepon genggamnya bergetar berulang pertanda panggilan masuk. Ia lekas memeriksa siapa gerangan yang meneleponnya.
Abipraya.
Arum mengangkatnya namun tak berkata-kata, hanya menunggu Abipraya mengeluarkan suara.
"Arum?"
"Ya, Pak Abi?"
"Maafkan saya karena harus mengulang ini lagi... saya tidak mau melibatkan kamu dalam masalah pribadi saya. Saya tidak mau kamu memikirkannya. Saya..." Suara pria itu bergetar di sela-sela napas yang patah.
Arum bergeming. Butuh beberapa saat sebelum ia membalas. "Pak Abi baik-baik saja?"
"Jangan lakukan apapun untuk mengalihkan perhatian orang-orang, oke? Biarkan saja. Saya tidak peduli kalau ... orang-orang membicarakan saya. Saya hanya ingin fokus membantu kamu."
Arum menghela napas pelan. "Ini tidak adil sama sekali."
"Saya tahu, Rum." Lirih Abipraya. "Tapi kita tak pernah bisa meminta lebih dari apa yang kita terima di kehidupan ini. Pada akhirnya, kita akan dihadapkan pada yang terbaik."
"Pak Abi, saya sudah memikirkan strateginya. Setidaknya kita harus mencoba."
"Tidak, Arum. Ini akan jadi diskusi terakhir kita tentang masalah ini. Mari kita fokus dengan kamu, seperti rencana awal."
"Tapi..."
"Sampai jumpa nanti, Rum."
Arum menghela napasnya. Dimasukkannya kembali telepon genggam tersebut ke dalam sakunya. Arum terbayang kembali perkataan Abipraya pada Pak Willy. Detik itu, Arum merasa berharga untuk pertama kalinya, lagi. Ia merasa memiliki tempat di dunia ini. Ia sudah terbiasa menjadi makhluk buangan, bahkan oleh keluarganya sendiri. Ia terharu. Gadis kecil itu terharu mengingat kepedihannya kini sedikit demi sedikit terasa berkurang karena kepedulian seseorang padanya. Pandangan Arum kabur. Dinginnya air mata yang berlinang menyusuri tulang pipinya menyadarkannya bahwa ia sedang menangis.
"Terima kasih." Lirih Arum yang kemudian mengusap airmatanya.
.......
Hai hai, beautiful people! Maaf nih baru sempet update lagi, kerjaan dan tugas hari ini deadline-nya ga bisa diajak kerja sama 😒😭
Anyway, hope you enjoy it, guys! Stay tuned! 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Save Your Tears, My Angel
Romansa☘️ ON GOING ☘️ Gadis dingin, kasar dan tak acuh pada sekelilingnya terjebak dalam bantuan sang dosen, Abipraya. Abipraya mencari tahu kendala yang Arum lalui selama masa perkuliahan karena Arum terancam didepak dari perkuliahan. Arum tak mau meliba...